"Feb." Minggu pagi, Sheny mengirimkan pesan.
Hari Minggu adalah hari kesenangan. Aku bisa menonton kartun dari pagi menjelang siang. Momen yang sangat menyenangkan. Selain suka menonton kartun di hari Minggu, setiap hari aku juga menonton Naruto. Meski sering diulang-ulang, aku tidak pernah bosan. Naruto menyemangatiku untuk tidak boleh menyerah terhadap apapun juga.
"Apa?" Aku membalasnya satu jam kemudian. Karena kesenangan menonton televisi, aku malas meladeni sms darinya.
"Lagi apa?"
"Nonton."
"Oh, ganggu gak?"
"Iya," balasku tak mau berbasa-basi. Bukan tanpa alasan, kemarin kami baru bertemu. Aku tidak suka kalau punya teman yang mengganggu hari liburku.
"Oh, sorry ya. Yauda, g sms rika aja deh."
"Ok."
Setelah menonton sampai pukul 11, aku masuk ke kamar lalu mengkhayal. Tak ada niat untuk makan. Seharian aku merangkai adegan-adegan pengeboman dan penculikan anak seorang pejabat negara. Di khayalanku, aku berhasil menyelamatkannya meski kedua orang tuanya tidak terselamatkan. Hanya kami berdua yang berhasil selamat, yang lain tamat.
***
Ada yang berbeda dengan Felix pagi ini. Ia datang ke sekolah sambil mendengarkan lagu dengan alat yang tak biasa. Discman jadul mengait di ban pinggangnya.
“Hari gini masih pake gituan, Lix. Kayak nggak ada hape aja,” kataku sambil melirik discman miliknya. Warnanya silver, ada dua stiker yang menempel pada badan discman itu.
“Beda, Feb. Denger pake ini enak banget suaranya. Serius.” Felix menggerak-gerakkan tubuhnya mengikuti alunan musik yang sedang diputar.
“Cuma ya gede gitu. Apa nggak berat?”
“Berat sih, cuma asik aja.”
“Ooooo... Beli di mana tuh?” Jujur, aku juga sebenarnya tertarik dengan discman itu jika suaranya benar-benar enak.
“Nggak tau, punya kakak gua ini soalnya. Gua minjem.”
Felix menyukai musik metal. Setiap hari ia selalu scream di kelas. Nama pesbuknya adalah Felix Scene veil Metalcore. Ia sering mengajariku caranya melakukan scream. Saat pertama kali mencobanya, tenggorokanku langsung kering dan sakit. Seharian setelahnya aku merasakan sakit saat meneguk air. Aku berpura-pura menyukainya karena tak enak hati. Ia sudah senang hati mengajariku. Aku harus tampak bahagia menerima ilmu darinya.
Sebenarnya, diam-diam aku menyukai musik sendu seperti lagu-lagu Asia yang berasal dari Jepang, China, dan Korea. Hanya, aku tak mau dia tahu. Pasti dia akan mencemooh.
Meski aku suka dengan mafia dan kekerasan. Tapi untuk selera musik, aku berbeda. Aku sama seperti anak pada umumnya, suka lagu pop. Selain itu aku juga suka lagu ballad pengantar tidur, lagu yang menenangkan jiwa.
Minggu lalu aku kepergok sedang mendengarkan instrumental piano lagu I Jugil No Me Sarang. Ost dari A Love To Kill, serial drama Korea yang tayang pada tahun 2005.
“Katanya mafia. Tapi dengerin lagu banci... Ckckck...” sergahnya tanpa ampun. Baginya, mendengarkan musik-musik cengeng adalah suatu kelemahan.
“Dasar mafia cengeng! Ckckck...” Ia menimpali.
Bagiku, mendengarkan musik sedih juga penting. Untuk mengolah rasa agar khayalan yang kuciptakan ada bekas yang khas. Kalau sedang mendengarkan lagu sedih, aku pasti sedang mengkhayal tentang kematian. Kematian yang mengajarkanku untuk hidup lebih baik sehingga tidak menyesali apa yang telah terjadi.
Tak ingin lagi kepergok mendengarkan lagu sendu, kuhapus semua lagu sedih di hp. Padahal saat suasana hati sedang tak ingin melakukan apa-apa, tersiksa juga. Hehehe.
“Lix, lu suka Avenged Sevenfold nggak?”
Kami sedang menyantap bakwan di kelas. Bakwan adalah makanan nyata yang bisa menunda lapar. Bukan minuman seperti di iklan yang bergaya hiperbola itu.
“Nggak, gua mah sukanya Bring Me To The Horizon, Lamb Of God,” katanya sambil mengunyah bakwan yang memenuhi rongga mulut. Perlahan-lahan ia menelan kunyahannya. “Cuma kadang-kadang suka lah. Tapi kalo Avenged 7x gua nggak suka. Terlalu cengeng buat gua. Nggak sesuai sama tato diorang.”
“Oooo...”