Bu Nina masuk ke kelas untuk mengajarkan akuntansi teori. Seandainya saja saat ini Bu Anna yang mengajar, pasti minat belajarku akan ada sedikit. Sayang, Bu Nina tidak bisa kuganti dengan sulap Harry Potter. Apapun yang dijelaskannya, aku sama sekali tidak bisa menyaring dengan baik. Otakku masih terfokus dengan kesalahan yang kulakukan. Sesekali aku memandangi punggung Sheny yang kurus itu. Sesekali aku melihatnya sibuk menyalin catatan yang ada di papan tulis.
“Feb,” bisik Della. “Lo liat geh tuh si Maya. Lagi ngelamun gitu nggak jelas ngeliatin apa. Masa mulutnya manga gitu?”
Sepasang mataku beralih memperhatikan gerak-gerik Maya. Rambutnya yang tebal dan bergelombang, berponi di atas mata. Tubuhnya terhitung kurus, tungkainya lurus seperti kaki-kaki kursi. Lalu aku melihat mulutnya menganga. Perasaan suram yang tengah kurasakan tiba-tiba sedikit memudar.Tawa tak bisa kutahan. Aku tak kuat melihat eskpresi anehnya. “Ngapain sih dia kayak gitu?”
“Lucu kan? Gua juga nggak tau,” jawab Della dengan suara pelan agar tidak ketahuan Bu Nina yang tengah menjelaskan materi di depan.
Kami cekikikan bertiga. Vira juga ikut tertawa melihat tingkah aneh Maya. Tak ada yang Vira tak tahu. Maya memang sering bertingkah aneh. Olahraga pun begitu, saat praktek memperagakan gerakan lay up, kaki kanannya menggantung hampir menyentuh bokongnya sendiri.
“Maya diem aja gua bisa ketawa. Sumpah... Hihihi...” kata Della.
“Udah sih kamu orang ini. Kasian tau si Maya kita ketawain mulu.” Vira sok memberi nasehat tapi ia juga ikut tertawa.
Penjelasan Bu Nina tak kami dengarkan sama sekali. Kami memperhatikan Maya yang tengah memperhatikan penjelasan Bu Nina. Sesekali ia mengangguk. Penanya menempel di dagu. Kemudian, ia menatap buku tulisnya seakan memahami apa yang dijelaskan.
Suara Bu Nina di depan kelas tak ubahnya seperti suara tawon yang berkumandang tepat di samping telinga. Tidak jelas sama sekali. Aku begitu terhibur melihat gelagat dan ekspresi Maya yang di luar dugaan.
“Febri!!” Bu Nina tiba-tiba membentakku dari depan kelas. “Nggak punya aturan ya kamu ini!”
Aku tersentak. Della dan Vira segera menyelamatkan diri dengan pura-pura menulis bayangan. Menggerak-gerakkan pena namun tak menyentuh lembar buku yang masih putih tanpa noda tinta. Mereka menatap lurus ke depan. Hari ini, aku bernasib buruk.
Seluruh pasang mata tertuju kepadaku. Dari kursi, terlihat Bu Nina sangat geram dengan sikapku yang tidak memperdulikan penjelasannya di depan.
Tatapan tajam Bu Nina tak kunjung reda. Aku seperti satu-satunya terdakwa yang membuat kegaduhan di kelas.
Aku tak bisa menerima dimarahi sendirian. Emosiku bekerja lebih cepat. Aku bangun dari kursi dan meninggalkan kelas tanpa sepatah kata. Langkahku terasa berat. Sengaja kuhentak-hentak kakiku agar Bu Nina memperhatikan. Aku ingin ia bertanya, lalu aku akan menjawabnya dengan lantang. Namun sayang, itu hanya khayalan. Aku keluar dari kelas tanpa mendapatkan pertanyaan mengapa.