Siswa belum banyak yang datang ketika aku tiba di sekolah lima belas menit sebelum bel masuk. Saat menaiki anak tangga yang terakhir, di ambang kelasnya, Lia menyapa. “Eh, lu ngelawan Bu Nina ya kemaren?”
“Ngapa?”
“Iya, dia nanya gitu ke kita orang. Apa bener dia itu pilih kasih. Ya kita orang diem aja sih. Trus dia cerita kalo lu ngelawan dia. Lu jadi orang jangan frontal geh. Kan kita curhat mah sesama kita aja. Nggak usah guru juga tau.”
Setelah mengucapkan kalimat yang menjengkelkan itu, Lia dengan gampangnya masuk lagi ke kelas meninggalkanku yang masing mencerna ucapannya.
Sialan
Moodku benar-benar rusak karena Lia. Aku seperti umpan kecil yang dimakan hiu megalodon. Atau, seperti pion yang ditelan hidup-hidup oleh Perdana Menteri di permainan catur. Kulempar tas selempang di lantai kelas. Lalu aku memilih tidur sampai jam belajar mulai.
Pada saat pelajaran MTK, aku memilih untuk duduk di depan karena penglihatanku mulai berkurang. Aku pindah dan membiarkan bangku milikku kosong. Temanku, Tio, empunya tempat duduk kosong ini tak masuk tanpa ada kabar.
Setelah selesai menyalin catatan di papan tulis, aku berniat untuk kembali ke tempat dudukku. Bu Jupe, nama gaul guru MTK kami sedang menerima telepon di luar. Namun, ternyata Ferli sudah duduk di tempatku tanpa kusadari. Aku benar-benar tidak memikirkan hal lain selain mencatat dan mengingat ucapan Lia. Lia berhasil membuat hari ini begitu runyam.
Aku meminta Ferli kembali ke kursinya. Ia bersikeras tidak mau. Berkali-kali aku memintanya dengan nada lembut, nada biasa, hingga nada tinggi. Sepertinya hari ini hari yang sial. Kenapa orang-orang senang sekali membuat kesal. Aku memanfaatkan ketiadaan Bu Jupe untuk menumpahkan kekesalan.
Plakkk!!
Tamparan mendarat di pipi kanan Ferli. Aku sudah tak bisa mengontrol emosiku sendiri.
Plakkk!!
Bunyi tamparan yang lebih keras terdengar. Ferli berdiri dan membalas tamparanku.
“Ayo kita selesain di luar!” Aku menahan emosi yang sangat luar biasa. Sepasang mataku tiba-tiba berair. Kutahan mereka agar tak jatuh ke bumi. Aku tak mau menahan malu yang akan mengganda jika menangis. Kejadian yang benar-benar di luar dugaan.
Alfi memisahkan kami. Ia menahanku untuk tak membalas Ferli. Felix juga menahan Ferli. Della dan Vira hanya menjadi penonton setia dengan wajah yang menganga.
Bu Jupe datang dan terkejut. Lalu membawa kami ke kelas kosong dengan hp yang masih di genggaman tangannya.
Kami berdua jalan bersebelahan. Untuk menutupi agar tak ketahuan menangis, aku berupaya untuk pura-pura tersenyum sinis.
“Kok kalian brantem? Kenapa?” Bu Jupe bertanya dengan kedalaman mata yang tak biasa. Mungkin heran, karena selama ini kami akur-akur saja sebagai tetangga yang berserongan bangkunya.
“Dia duluan Bu nampar saya. Ya saya reflek bales juga.” Ferli membela diri. Tetapi memang benar juga. Aku yang menamparnya duluan.