Bu Melly, guru seni budaya kami masuk ke kelas setelah jam istirahat selesai. Tak terasa bulan sudah memasuki September. Dari penjelasannya, kami akan diberikan tugas praktek. Pilihannya ada tiga, yaitu ; bermain pianika, seruling, atau bernyanyi sambil bermain gitar.
Waktu SMP aku pernah mengikuti ekskul musik. Tapi aku berhenti karena otakku tak sampai memahami not balok. Pada semester dua, aku memutuskan untuk keluar dari ekskul tersebut. Aku memilih untuk pindah ke ekskul Pendalaman Alkitab daripada harus membaca not balok.
“Minggu depan kalian harus udah putusin ya. Pengambilan nilai dimulai minggu depan. Dimulai dari absen yang pertama,” ujar Bu Melly.
“Gua nggak bisa maen apa-apa loh. Gimana nih?” Della gelisah. Ia menyandarkan tubuhnya ke meja. “Masa gua harus joget di kelas?”
“Sama gua juga.” Vira menambahi.
“Yaudahlah santai,” ujarku. “Kan setiap minggu cuma satu jam pelajaran. Masih bisa latihan dari sekarang. Belum tentu kan minggu depan kita kebagian semua.”
“Lo bisa maen apa Feb?” tanya Alfi.
“Gitar.”
“Sama dong kayak Sandy.” Matanya memintaku untuk melihat sosok siswa yang sedang bersandar di tembok.
“Ohh..” Aku melirik Sandy yang duduk di belakang Felix. Aku belum mengenalnya. Sandy adalah anak yang pendiam. Aku jadi penasaran, sejago apakah anak itu bermain gitar?
Aku tidak terlalu suka dengan anak yang terlalu pendiam. Sandy nyaris tidak berbaur dengan kami yang duduk agak jauh darinya. Ia seperti arah mata angin. Bergaul hanya dengan yang ada di sebelahnya saja.
“Lu punya gitar di rumah?” tanya Alfi lagi.
“Punya. Ngapa?”
“Bawa geh besok. Biar kita bisa latihan bareng.”
“Ok.”
***
Aku membongkar tumpukan barang di sela lemari kamar. Kutemukan gitar bergambar tengkorak yang sudah dipenuhi debu. Lima senar sudah berkarat. Sementara senar nomor satu putus. Cepat-cepat aku pergi ke warung Lek Par untuk membeli senar piramid yang harga seribuan per buah.
Warung Lek Par adalah warung yang paling lengkap di lingkunganku. Apa saja ada. Bahkan beberapa tetangga di rumahku berkata bahwa warung Lek Par adalah indomaret kecil.
Terkenang aku akan gitar ini yang memiki sejarah tersendiri. Karena gitar ini juga aku dijuluki rocker waktu SMP. Aku membeli gitar ini pada bulan April tahun 2008. Dengan uang les drum, aku membeli gitar ini. Bodohnya, aku lebih memilih membeli gitar padahal sudah lama menginginkan les drum. Hanya bermodal nekat karena sok tahu tentang gitar ketika membeli buku lagu band Indonesia yang berisi chord gitar lengkap dengan gambar chordnya.
“Pulangin gitarnya! Gitar apaan itu! Gambarnya setan!” pekik Mama kala itu.
Aku tak menyangka Mama akan semarah itu. Nyaris jantungku copot. Kalau aku bisa menukarnya, pasti akan kutukar.