sari pati

F. Chava
Chapter #9

Usus Buntu

Ponsel berantena tergeletak di samping tempat tidur lengkap dengan kotaknya. Warnanya putih, sementara antenanya berwarna oranye. Ini pasti dari Mama. Hp ceria, kenapa malah membelikan aku hp seperti ini?

“Udah syukur dibeliin. Suruh siapa hpnya ketinggalan di angkot,” jelas Mama ketika aku protes mengapa aku dibelikan hp seperti itu.

“Mending nggak usah dibeliin. Malu juga dibawa ke sekolah.”

“Terserah.” Mama kembali masuk ke kamar bersama adikku.

Kuhidupkan radio tua tahun 1989 yang terletak di samping lemari TV ruang tamu. Radio itu adalah radio kesayangan milik Papa. Radio itu adalah sejarah. Benda pertama yang Papa beli dengan gaji pertamanya sebagai orang dewasa.

Di rumahku, tak ada seharipun tanpa suara radio. Setiap pukul 2 sampai 4 sore, radio selalu bernyanyi. Mama yang memulainya. Mama suka lagu lama. Lagu-lagu Nia Daniati, Nike Ardila, Christin Panjaitan, dan penyanyi lawas lainnya. Papaku tak kalah, ia juga penggemar berat Panbers. Aku hafal lagu Gereja Tua dari awal sampai akhir. Sepertinya lirik lagu itu sudah menempel di kepala.

Menghabiskan waktu setiap sore sendirian sangat membosankan. Aku tak punya pilihan. Semenjak kejadian aku mencuri hp anak SMA di SMP-ku dulu, Mama melarangku bermain dengan teman-teman dekatky. Sialnya lagi, ibu temanku itu menuduh aku yang mengajari anaknya. Padahal, jangankan mengambil hp, aku yang kala itu hanya berjaga di depan pintu kelas saja merasa takut setengah mati.

Selain mendengarkan radio, tak ada yang lebih menyenangkan. Kecuali kalau petang akan datang. Engkong menonton berita di televisi, sementara aku duduk manis di perahu Papa sambil memandang surya yang perlahan akan tenggelam. Lebih lengkap lagi kalau hpku masih ada. Telinga akan kusumpal earphone berjam-jam sampai surya benar-benar tenggelam. Hingga yang tersisa hanya ombak yang berpendar.

***

Jumat Pagi

Sheny menangis di kelas. Aku yang tak pandai menghibur orang lain hanya bisa menunggu teman-teman datang dan meminta mereka untuk menanyakan kejelasan. Rasanya sulit berhadapan dengan orang yang menangis.

Beberapa teman yang mulai berdatangan mencoba menghibur. Aku masih duduk tenang di bangku sambil mengarahkan pandangan ke bangkunya. Ada rasa ingin ikut menghiburnya. Namun, aku tidak bisa.

Clara mencoba menghibur. Ia mengusap-ngusap punggung Sheny sambil mengucapkan kalimat motivasi. “Dia pasti bisa ngelewatin sakitnya. Gua percaya itu. Lu jangan nangis.”

Della yang baru datang juga langsung ikut berkerumun tanpa meletakkan tas terlebih dahulu. Banyaknya teman yang menghibur, membuatku tak bisa lagi melihat empunya bangku itu. Anak-anak berkerumun menutupi segala sisi.

Aku makin penasaran dengan apa yang terjadi. Namun, aku juga bingung bagaimana melontarkan pertanyaan kepadanya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, Della berjalan berniat menaruh tas.

“Boy, ngapa si Sheny?” aku bertanya pada Della yang baru saja duduk di bangkunya.

“Itu,” ia berupaya melepaskan tas selempang miliknya, “si Rika sakit usus buntu katanya.”

Lihat selengkapnya