Setelah beberapa waktu, teman-teman di kelas berbondong main ke rumah. Kira-kira jumlahnya ada 14 orang. Setengah populasi kelas. Hebat bukan?
Aku mengiming-imingi mereka kalau rumahku dekat dengan laut. Laut di samping rumahku ini jauh dari bayangan bersih, indah, dan nyaman. Dari jendela samping rumah, sampah sudah terlihat berserakan.
Awalnya rumahku tidak berada di sini. Aku pindah saat kelas 2 SD. Waktu itu lingkunganku belum sekumuh ini. Terumbu karang masih mempesona. Aku sering melihat batu karang berwarna ungu, kuning, dan biota laut lainnya meskipun ukurannya tidak sebesar yang sering muncul di televisi. Pemukiman belum terlalu padat. Papa menimbun pesisir dengan menggunakan puluhan ban mobil bekas dan sisa bekas bangunan yang dibongkar. Cukup lama prosesnya. Sekitar satu tahun. Aku masih mengingatnya ketika itu aku masih duduk di kelas 1 SD. Adikku belum lahir. Papa suka menceritakan kesukaannya pada laut.
Ketika aku menginjak usia 9 tahun, adikku yang waktu itu masih berusia belum genap dua tahun. Papa pernah berniat untuk mengajak kami tinggal di tengah laut. Papa suka sekali dengan laut. Cita-citanya adalah membuat bagan besar yang bisa ditinggali kami sekeluarga. Hidup dari mencari ikan. Tak seperti sekarang, berkutat di bengkel sejak usia belasan. Tuntutan keluarga katanya.
“Trus anak lu kalo mau sekolah gimana?” Mama bertanya kala itu.
Papa diam. Aku ingat sekali bahwa Papa diam. Tak menjawab pertanyaan Mama. Aku yang masih kecil itu tak paham betul mengenai apa maksud dari tuntutan keluarga. Yang kupikirkan saat itu adalah menjadi seorang Ultraman atau Power Rangers. Pahlawan super favoritku.
Aku tumbuh dari keluarga yang tidak serba ada. Tapi juga tidak kekurangan. Namun, sepertinya, sampai kapanpun aku tak akan pindah kemanapun. Selain aku pergi membeli rumah lain yang kuingini. Papa tak akan bergeming pada keputusan yang akan menjauhkannya dari laut.
Angit laut sedang tidak sekencang biasanya. Usai meletakkan barang-barang, aku mengajak teman-temanku menyusuri laut yang kubanggakan ini.
“Kok banyak sampahnya, Feb?” tanya Rika.
“Ya namanya lingkungannya begini." Aku menjawab seadanya. "Dulu sih nggak, masih suka maen bola gua sama temen-temen kalo lagi asad."
"Asad?" Rika mengernyitkan dahinya.
"Surut maksudnya."
"Ohhh." Rika menangguk pelan. Matanya melebarkan pandangan.
“Tapi tetep bagus kok.” Sandy tiba-tiba bersuara. Aku mulai dekat dengannya setelah memberanikan diri untuk memintanya mengajariku bermain gitar.
“Mau liat laut yang nggak ada sampahnya? Cuma dalem,” kataku menawarkan. Lagipula, mereka pasti tidak akan kecewa dengan apa yang aku tawarkan.
“Wah, boleh. Beta mau!” Felix antusias. Ia adalah orang NTT. Asalnya dari Kupang. Pindah ke sini karena kakaknya juga bersekolah di tempat yang sama. Kakaknya adalah teman sekelas Paula. Sayangnya, meski adiknya sudah dibuat menangis, kakak Felix dan Paula tidak bermusuhan. Keren juga. Mereka masih akur dan sering kujumpai makan bersama di kantin.
“Beta, lu mau berenang ya?” tanya Alfi.
“Iya, udah lama. Dulu di kampung gua kuat nyelem di laut.”
Laut yang kumaksud adalah proyek dari Pelindo. Kabarnya itu akan dijadikan sebagai tempat liburan. Reklamasi yang dilakukan besar-besaran diharapkan mampu menyerap wisatawan datang.
“Lu bisa nangkep ikan pake tombak nggak? Yang kayak di tipi-tipi itu.”
“Bisalah, kami orang kampung suka makan ikan.”