Aku sudah berdiri di hadapan cermin. Keren sekali aku di dalam cermin itu. Gaya rambutku sudah seperti Cosa Nostra yang misterius. Poni kubuat ke samping kiri. Rambut yang super keren ini tidak ada belahannya. Semuanya jatuh dan menjurus ke bawah. Kemudian, aku memasang tampang seram sekaligus bergaya bahwa ada musuh yang tengah kuhadapi. Sisir coklat tua yang tengah kupegang, kubayangkan seperti belati yang siap menusuk dan menembus jantung musuh.
Tututututut.. Sekarang kita semua.. Semakin bahagia.. Punya Ceria.. Senangnya hati ini.. Punya telepon sendiri.. Dengan Ceria..
Hp berantena oranye itu berdering kencang. Siapa pula yang mengirimkan sms pagi-pagi begini. Lagipula, aku sudah dibelikan Papa hp baru. Samsung Star GT s5233w.
".feb, gguw ngaK mzk ya. ngaK enak badan gguw." Della mengirimkan pesan.
"Woy kn gw udh blg jngn sms k sini. gw udh gnti hp!" Bukan tanpa alasan, sebenarnya aku kesal jika masih ada yang mengirimkan pesan singkat ke hp berantena ini. Soalnya, aku tidak bisa mengganti nada dering dan mengaktifkan profil silent.
".gguw ngaK pny nUmz Lo yG ithu."
"Mafia." Aku mengirimkan pesan balasan melalui hp Samsung.
".oke feb, gguw saVe y. tLonG bLgn k bu aNa y kLo gguw cakit. huf."
"Ok."
***
Maya datang ke sekolah dengan wajah sumringah. Padahal dia datang berbarengan dengan Bu Anna yang hendak masuk ke kelas. Tidak tahu malu betul dia. Sudah datang terlambat, masih saja menampangkan wajah sumringahnya.
Saat ia berjalan masuk, aku menyadari alasan kenapa dia begitu bahagia hari ini. Dia memakai sepatu baru. Sepatu basket lagi. Warnanya hitam. Merek sepatunya Keta, sama dengan punyaku. Perbedaannya, punyaku lebih keren dari miliknya.
"Fi...." Aku menyenggol bahu Alfi. "Tuh liat si Maya pake sepatu baru. Sepatu basket lagi. Azeeekkkk..."
"Cuit.. Cuit.. Anak basket mah sepatunya harus sepatu basket!" Alfi berujar.
"Suka-suka gua lah, kok lo yang sewot?" balas Maya.
Aku cekikikan sendiri, soalnya sepatu basket itu kan memiliki bagian collar yang lebih tinggi dari pada sepatu biasa. Maya seperti keberatan sepatu. Bayangkan saja, kakinya yang mirip kaki kursi itu mengenakan sepatu basket. Aku seperti melihat Micky Mouse ada di dunia nyata.
"Maap sih anak basket," jawab Alfi. "Nggak bisa becanda betul lu ini."
Maya melengos ketika melihat Alfi, Sebal betul mungkin. "Eh, Feb. Anak langit mana? Nggak sekolah tah dia?" Maya mengalihkan percakapan. Dia berdiri sejenak di samping bangkunya lalu memandangi bangku Della yang sudah diduduki oleh Linka, si anak misterius yang selalu duduk di pojok.
"Anak langit?" Aku mengernyitkan dahi.