Setiap tahun, untuk memperingati hari kasih sayang, sekolah Kotak Sabun mengadakan berbagai macam perlombaan. Dimulai dari lomba Fashion Show, menyanyi, dan masih banyak lagi.
“Kelas kita siapa yang ngewakilin lomba nyanyi?” tanya Bu Anna di sela-sela pelajaran praktek akuntansi.
Saling sebut nama memeriahkan pemilihan calon penyanyi perwakilan dari kelas. Intinya, di kelasku ini tidak ada yang mau maju sebagai perwakilan. Bahkan Sandy yang bisa nyanyi sambil main gitar pun enggan. Padahal, banyak fans dia itu. Ada kakak kelas, sahabat kakaknya Felix naksir betul sama Sandy. Sebenarnya, Sandy adalah kandidat yang tepat. Suaranya juga bagus.
“Jonas mau ikut lomba nyanyi nggak?” Bu Anna menawarkan.
“Nggaklah, Bu,” tolak Jonas sambil senyum-senyum.
“Kenapa nggak mau? Kan sering nyanyi di kelas. Nanti yang ngiringin Sandy. Gimana?”
“Yang laen aja, Bu,” Jonas bersikukuh tidak mau. Padahal kalau di kelas jangan tanya, setiap hari dia latihan menyanyi tunggal.
“Bu...” Alfi mengangkat tangan untuk memberi pendapat. “Gimana kalo Della aja yang nyanyi? Pasti menang, Bu.”
Dalam hati aku setuju, soalnya kemarin ia diam-diam menulis lirik lagu Apalah Arti Cinta yang dipopulerkan oleh band She di buku akuntansi besar milikku. Cocok sekali bukan?
“Eh, udah ya lo! Gua nggak bakal masuk! Liat aja kalo ampe gua kepilih!”
“Ya itu mah terserah Bu Anna lah,” jawab Alfi santai.
“Kenapa sih lo ini suka banget nyari ribut?!” Geram sekali Della dibuatnya.
“Gua nggak ngerasa tuh. Lu nya aja yang sensi.” Alfi mengangkat sebelah alisnya, seperdetik kemudian ia melayangkan pandangannya ke arahku sambil tersenyum menang.
Kalau Della, Jonas, dan Sandy enggan. Pilihannya tinggal satu, Maya. Dia orang Batak. Pasti suaranya bagus bukan? Soalnya bisa kita lihat di ajang pencarian bakat, mayoritas juaranya adalah orang bersuku Batak. Judika misalnya, lalu Sammy Kerispatih, dan Joy Tobing.
Di saat mereka tengah mencari kandidat, aku lebih memilih diam. Tak berkomentar apa-apa. Daripada aku yang kena, pasti lebih menyulitkan lagi. Kuputuskan untuk bermain dengan khayalan saja.
Di lorong yang gelap, aku sedang mengejar pengedar narkoba kelas kakap. Dia sudah kucari kurang lebih selama lima tahun. Dia yang membunuh Mama dan adikku. Dia yang menculik dua orang yang kukasihi itu selang beberapa menit mereka pamit untuk pergi ke toilet. Aku sudah berlatih bela diri berjam-jam sehari. Mataku yang tebal kantung mata ini adalah hasil dari latihan kerasku untuk membunuhnya. Kali ini, aku tidak akan membiarkannya lolos.
Tetes air berkali-kali terdengar saking heningnya lorong ini. Lantai yang becek sisa hujan yang membanjiri tempat ini beberapa hari yang lalu, menjadi satu-satunya suara yang bisa terdengar, itu pun jika tetes air terjatuh karena ditarik gravitasi.
Aku mengendap-endap. Agar keberadaanku tak diketahui, aku melangkah dengan kaki seringan mungkin. Aku sudah belajar bagaimana menapak tanpa suara. Guruku mempunyai jurus pernapasan yang andal. Bahkan, tak perlu menyentuh, ia mampu mendorong seseorang hingga terpental puluhan meter.