sari pati

F. Chava
Chapter #20

Percaya

Berbulan-bulan aku berlatih gitar setelah pulang sekolah, tetapi segala daya dan upaya itu tetap saja tak ada artinya di mata Papa. Lama-lama tak tahan juga hati ini mendengarkan Papa yang selalu protes dengan permainan gitarku. Katanya, permainan gitarku jelek, sakit di telinga, dan tak punya harmoni seperti temannya di masa muda.

Papa tidak pernah tahu, bahwa ujung jemari kiriku sudah menebal dan berwarna hijau. Kadang juga berdarah jika aku terlalu keras berupaya. Papa tidak pernah tahu itu. Aku tahu, semua orangpun tahu kalau permainan gitarku tidak bagus. Namun, bisakah sedikit saja ada penghargaan sederhana yang kudapat?

“Apa maennya cuma jrang jreng jrang jreng aja. Papa dulu punya temen waktu masih di Sidomulyo. Asuk Asen namanya. Dia mau maen lagu apa aja bisa. Cuma sekali denger, udah bisa instrumentalnya.”

"Ya namanya masih belajar. Masa langsung jago?!" ketusku. Tahu apa Papa soal gitar. Gitar inipun aku membelinya sendiri, pergi naik angkot sendiri. Papa bukanlah orang yang senang bepergian. Hidupnya hanya di laut. Pernah sekali waktu aku ingin martabak keju, uang memang diberi, namun ia menyuruhku pergi jalan kaki. Pulang pergi habis waktu. Setiba di rumah, martabak kejuku tak panas lagi.

"Nggak enak didengernya, makanya Papa kasih tau. Maen gitar itu bukan jrang jreng jrang jreng aja. Tapi ada melodinya."

"Iya."

Berkali-kali dalam sebulan Papa mengucapkan kalimat itu. Ada rasa tak percaya dan juga percaya. Tak mungkin Papa berbohong jika ia berulang kali mengucapkannya padaku. Namun, aku juga punya perasaan yang diperlu dihargai. Tidak pernah ada ceritanya orang belajar langsung pandai. Tidak ada cerita bahwa orang lihai tidak berlatih dari awal. Lagipula, modal latihan gitarku hanya buku lagu yang kebetulan ada gambar chord-nya. Aku hanya memahami dengan pemahaman diri sendiri. Tidak bertanya pada siapapun.

Kalau memang tidak puas dengan hasil usaha anaknya, kenapa Papa waktu muda tidak belajar gitar dengan temannya itu, lalu mengajariku di masa kini sehingga aku bisa lebih baik? Tidak adil rasanya kalau menghakimi usaha seorang anak tanpa melakukan suatu usaha.

Meski ucapan Papa terkesan ringan, tetapi tetap saja kalimatnya menusuk-nusuk jantungku. Aku tahu ucapan seperti itu tujuannya guna membangkitkan semangat supaya aku berbeda dengan yang lain. Tapi, harusnya Papa juga tahu bahwa anak remaja sepertiku bukanlah orang dewasa yang lebih kuat ditempa kata-kata.

Aku merogoh hp di saku celana. Ada ragu yang besar untuk mengirimkan pesan, satu-satunya nomor kontak yang ingin kuhubungi adalah Sheny. Soalnya, meski kami sering bertengkar, aku lebih nyaman jika harus bercerita padanya karena di beberapa momen terburuk, ia bisa membuatku sedikit lebih baik.

Jemariku mulai mengetik pesan. Dua kalimat panjang tertuang. Aku menjelaskan masalahku kepadanya. Namun, ada keraguan yang dalam. Apakah pesan ini tidak berlebihan? Dua kalimat yang sudah jadi itu kemudian terhapus. Aku mengetik lagi. Menuliskan inti dari masalah menjadi sebuah pertanyaan.

“Shen, apa gw berenti maen gitar aja ya? Gw nggak bakat kayaknya.”

Lima menit, sepuluh menit, satu jam kemudian. Aku terus menatap layar hp, namun tak kunjung adanya balasan.

Lihat selengkapnya