Kelas XI formasi siswanya berubah. Teman-teman yang mengasyikkan. Teman-teman yang seru lahir dan batin. Selamat tinggal. Aku harus berbaur lagi dengan orang-orang baru. Meski wajah mereka sering kulihat, meski ada beberapa dari mereka yang sering bertegur sapa denganku, tetapi perbedaan suasana kelas waktu kelas X membuatku harus beradaptasi kembali.
XI Ak 1 adalah kelas yang berisi anak-anak yang pintar. Mungkin ada juga yang biasa saja sepertiku, tetapi tidak banyak jumlahnya. Untungnya, Sheny ada di sini. Yang lain boleh tak sekelas denganku, asal ada Sheny, aku mungkin bisa beradaptasi pelan-pelan.
“Cecequ, gua pengen pindah kelas lah,” kataku tiba-tiba pada Sheny di hari pertama masuk sekolah. Ada rasa senang karena sekelas dengannya, namun aku juga ragu apakah aku akan nyaman di sini atau tidak. Kudengar, beberapa orang dari kelas lain juga akan mengajukan pindah karena tak sesuai dengan keinganan mereka. Siapa tahu ada yang mau bertukar kelas denganku.
“Kenapa Feb?”
“Ya nggak srek aja. Kurang seru, serius semua," keluhku lesu.
“Kan ada gua, ngobrol sama gua aja lah. Kalo lu pindah kelas ntar gua sama siapa?"
"Lu kan bisa bergaul sama banyak orang. Ramah sama siapa aja."
"Lu juga gitu. Udah di sini aja sama gua."
Entah sejak kapan, aku memanggilnya dengan sebutan Cecequ. Virus Mimiqu telah menyebar. Kata orang kami seperti kakak adik. Ribut sebentar, berbaikan kemudian.
“Ya beda loh, maksud gua suasananya. Kalo lu kan emang pinter. Cocok di kelas ini. Lah kalo gua kan nggak.”
“Kata siapa lu nggak pinter? Lu itu pinter tau!” timpalnya. Baru kali ada yang mengatakan bahwa aku pintar. Terharu juga perasaan ini.
“Kalo bisa jangan lah.”
“Kenapa?”
“Ntar gua disayang guru. Males kan?” Aku menyengir.
Kami berdua tertawa tak jelas. Aku memang sering bertingkah kepedean begini. Soalnya, kalau berbincang dengan anak di kelas X aku merasa sok keren. Namanya juga kelas asyik.
"Jadi gua nggak perlu pindah kelas nih?"
"Ngapain? Kan ada gua!"
Sheny kemudian memilih bangkunya di posisi kedua dari depan. Sementara aku tetap memilih untuk duduk di belakang. Kasihan mereka yang memang niatnya mau belajar kalau aku duduk di depan. Bisa-bisa mereka ketularan nakal.
Letak kelasku tepat di sebelah ruang konseling yang digabung dengan ruang UKS. Kebetulan, kelas kami berada paling pojok di lantai dua. Jika berdiri di balkonnya saja, aku bisa melihat gerobak mie ayam Pak De. Bisa melihat gerobak mbak arema, bisa melihat kantin dan seisinya.
Bu Puja masuk ke kelas di pelajaran pertama. Ketika baru pertama kali menginjakkan sepasang kakinya beberapa meter dari muka pintu. Ada raut ketidaksukaan dengan formasi tempat duduk kami. Alhasil, Bu Puja memindahkanku tepat di belakang Sheny.