Awal bulan Agustus, Pak Joko mengadakan ulangan bab pertama. Beruntungnya, ia tidak bisa mengawas kami. Ada pertemuan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan setempat.
Sebelum pergi, Pak Joko memberikan wejangan. Aku sempat mengira bahwa guru lain yang jamnya kosong yang akan menunggu di kelas. Ternyata dugaanku salah. Kelas dibiarkan kosong.
“Saya percaya kalian semua ini anak-anak yang jujur. Yang bisa dikasih tanggung jawab. Anak yang takut akan Tuhan dan menjunjung tinggi pengetahuan daripada sekedar nilai. Saya lebih suka orang jujur yang mendapat nilai jelek daripada nilai seratus tapi hasil menyontek."
Pintu ditutup. Pak Joko meninggalkan ruang kelas bergegas menuju Dinas. Serentak seluruh anak di kelasku membuka buku yang sebelumnya telah disiapkan di kolong meja.
Tangan-tangan mereka terampil membolak-balikkan catatan rumus. Di saat mereka semua semangat betul menyontek, aku tidak melakukannya. Entah, tidak ada keinginan di dalam hatiku untuk melakukan tindakan tersebut.
“Bacot.. Bacot.. Kalo emang sikap lebih penting dari nilai, gua nggak diomelin bapak gua kalo rapor gua jelek. Gua nggak disindir-sindir mulu sama Bu Winda,” kata Alfi sambil membolak-balikkan halaman buku catatan MTK-nya. Ia akan menyalin rumus dan menggunakan kalkulator di hp.
“Masih dendem tah lu sama Bu Winda?” tanyaku.
“Siapa yang nggak dendem Feb tiap pelajaran Bahasa Inggris disindir mulu," keluhnya. Setiap pelajaran Bahasa Inggris, Alfi terus-terusan menjadi sasaran ketajaman mulut Bu Winda. Aku kadang kasihan, tapi aku juga tidak bisa membelanya.
“Iya sih. Gua juga kadang rada sebel. Mimpi harus sesuai realitalah. Mimpi harus ngacalah. Ya suka-suka gua juga dong mau jadi apa.”
“Anak pertamanya kuliah kedokteran sih. Ya gua tau anaknya emang pinter. Budek kuping gua cerita tentang anaknya mulu di kelas.”
“Asleeee..” Aku menyetujui. “Kayaknya cuma anaknya yang punya masa depan cerah. Kita mah madesu....” (Masa Depan Suram)
“Iya, di pikirannya kita ini gak punya perasaan kali ya..” Aku tertegun mendengar Alfi berkata seperti itu. Aku menatap Alfi sejenak, dia yang biasanya bersikap bodo amat. Kini, perasaannya lumat.
Aku tahu, Alfi seringkali disindir habis-habisan oleh Bu Winda karena Alfi memiliki kakak yang kuliahnya membanggakan di Yogyakarta. Ia selalu dibanding-bandingkan. Bu Winda mengenal baik keluarga Alfi. Apa ucapan Bu Winda itu memang permintaan Ayah Alfi? Tetapi, apakah ucapan yang terlontar itu tidak berlebihan?
“Sabar cuy.. Gua percaya asal usaha, lu pasti bisa jadi apa yang lu impiin.”
Menjadi seorang pemain sepak bola professional adalah impian Alfi sejak kecil. Ia lihai dalam freestyle bola. Bola seperti hidupnya. Bola seperti jiwanya. Seperti jiwaku yang menggilai mafia. Kami sama. Punya harapan meski tidak tahu kapan itu akan terlaksana.
"Ya gua mah nggak jadi pemain bola juga nggak papa, Feb," katanya sambil menekan-nekan keypad hp. Ia tengah menghitung dengan kalkulator. "Yang penting sekarang gua pengen lulus dari sini, trus kuliah olahraga."