Tanggal 17 Agustus 2011, aku datang pagi-pagi untuk mengikuti upacara HUT RI. Ini pertama kalinya aku mau mengikuti upacara saat momen tujuh belasan. Biasanya, mau diancam sekejam apapun. Aku tak gentar. Aku malah makin sangar. Sengaja melanggar. Pasti tak ada hukuman yang diberikan. Itu hanya gertakan saja.
Jauh hari, aku sudah janji dengan Sheny akan mengajaknya pergi menonton bersama Danny, sahabat SMP-ku. Danny juga penasaran, ia ingin melihat dan bertemu Sheny mengingat aku yang sulit berbaur dan dekat dengan orang lain.
Sebelum upacara dimulai, kami mengatur barisan. Setiap ketua kelas bertanggung jawab atas kerapian barisan kelasnya. Aku berdiri tepat di belakang Sheny. Namun, tiba-tiba aku menyadari sesuatu, aku lupa membawa topi. Biarlah, aku tetap bisa berdiri kokoh.
“Feb.” Sheny membalikkan badan. “Danny itu orangnya asik nggak?”
“Asik dong. Ntar geh kenalan. Dia mah ramah ama siapa aja. Lu kan tau sama gua gimana. Berapa kali lu nangis coba? Nah, dia tuh kayak lu gitu. Sabar sama gua. Sebelas dua belaslah.”
“Ohhhh.. Gitu ya? Jadi lu mau bikin gua nangis lagi karena tau gua sabar sama lu?” Ia menajamkan pandangannya.
“Nggak lah.”
“Gua kira...”
“Lu kan Cecequ..." Aku merekahkan senyum terbaik.
Upacara baru dimulai setelah sejam lebih berdiri. Kaki mulai terasa pegal. Cahaya begitu terik. Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan. Harusnya sekolah mengumumkan saja waktunya yang tepat. Tidak mengerjai siswanya yang buru-buru datang jam tujuh pagi. Lalu dibiarkan menunggu di lapangan selama ini.
Saat pembina upacara memberikan arahan. Aku merasa tubuhku sedikit melayang. Pandangan seketika gelap. Gelap sementara lewat di depan mukaku dengan cepat seperti kilat. Aku langsung meletakkan sepasang tanganku di pundak Sheny. Berpegangan sekuat tenaga supaya tidak rubuh.
“Gua mau jatoh,” suaraku lemah.
Sheny langsung buru-buru memanggil Bu Anna yang kebetulan posisinya paling dekat. Aku langsung dipapah menuju ruang guru.
Bu Anna menyuguhkan teh hangat. Aku meminumnya seteguk. Pikiranku kacau balau. Malu setengah mati. Kenapa tiba-tiba aku bisa selemah ini?
“Kenapa, Feb? Belum sarapan ya?” tanya Bu Anna.
“Iya, Bu. Kurang tidur juga. Semalem saya nggak bisa tidur.”
“Besok-besok kalo lagi nggak sehat, nggak usah dipaksakan, Feb.”
“Tapi asli, Bu. Saya malu. Masa mafia pingsan. Saya boleh ya Bu upacara lagi?”
“Yakin?”
“Iya, Bu. Saya udah nggak papa kok.”
Aku kembali ke lapangan. Tatapan dan ekspresi tak percaya dengan kondisiku dimiliki oleh mereka yang kenal baik diriku. Alfi dan Felix meledek saat aku melewati mereka.
“Masa mafia pingsan. Febri... Febri...” Alfi berseloroh.
“Mafia lemah. Ciakakak...” tambah Felix.
Sheny mengambil alih posisi belakang. Ia memintaku untuk berdiri di depannya. Sesaat kemudian, ia mengenakan topi miliknya di kepalaku. Aku menatapnya dengan tanda tanya penuh di kepala.
“Biar lu nggak pingsan lagi," tukasnya memberikan segaris senyuman.
***
Upacara usai. Aku dan Sheny bergegas meninggalkan sekolah. Waktu menunjukkan pukul setengah 11. Bioskop di buka satu jam lagi. Aku mengirimkan sms kepada Danny. Memberitahu bahwa kami akan menuju ke sana.
Angkot berwarna abu-abu mengantarkan kami menuju Hypermart. Lokasi di mana satu-satunya bioskop berada di kota Bandar Lampung saat ini. Kami turun tepat di halte.