Mama pergi berkeliling mencari tempat les gitar. Bersama temannya, Mama menyusuri tempat les musik yang cocok untukku. Wajahnya penuh dengan peluh. Rambutnya yang terjatuh, nyaris lengket karena berjam-jam memakai helm mengelilingi kota Bandar Lampung. Nuraniku tersentuh.
Mama memang tidak pernah bicara mendukung atau tidak. Ia juga tidak pernah mengomentari apa yang aku lakukan. Namun, yang dilakukan Mama menurutku sangat di luar dugaan. Setiap hari memang aku bermain gitar lebih dari dua jam. Bahkan pernah empat jam lamanya. Berhenti hanya untuk makan dan ke kamar mandi.
Aku merasa ada tujuan saat bermain gitar. Memang aku masih menggilai mafia sebagai cita-cita terhebatku. Namun, tak bisa ditepis juga bahwa keinginanku sekarang bertambah, ingin menjadi seorang pemain gitar yang andal.
Kalau pergi ke warnet, aku suka menonton video-video permainan gitar listrik melalui kanal YouTube secara diam-diam. Soalnya beberapa kali aku ketahuan dan dimarahi oleh penjaga, sebab di warnet ini tidak boleh menonton YouTube kalau sedang ramai pengunjungnya. Apalagi mereka suka sekali main game online seperti Point Blank. Danny dan teman SMP-ku yang lain juga sama menggilai Point Blank dan Dota. Mereka bisa bermain sampai enam jam lamanya kalau sekolah sedang pulang cepat. Aku pernah mencoba bermain game, namun tak ada hasrat. Aku malah pusing bermain game. Bertemu dengan gitar inilah yang menjadi hobiku selain mengkhayal.
Mama menyodorkan beberapa brosur saat aku baru saja menginjakkan kaki di rumah. “Katanya suka musik. Mama udah nyari tempat les yang bagus. Kamu tinggal pilih aja.”
Aku menatap Mama, antara percaya dan tidak percaya, dalam diam terkadang seseorang lebih banyak bertindak ketimbang mereka yang kebanyakan bicara.
"Udah kamu les aja, ada uangnya," kata Mama lagi.
Dari sekian banyak tempat les yang sudah Mama kunjungi. Aku tertarik pada satu brosur tempat les musik yang paling dekat dengan rumahku. Aku memilih Harvist. Tempat les yang lokasinya berada di jalan Pattimura. Hanya satu kali naik angkot. Tidak terlalu jauh dari rumah. Waktu yang ditempuh pun hanya 20 menit jika naik bus. Kalau angkot lebih cepat lagi, paling-paling 15 menit sudah sampai.
Aku mendatangi tempat les itu sendiri. Membawa sejumlah uang yang sudah Mama tanya sebelumnya. 9 September 2011, adalah hari pertamaku les gitar.
Instruktur gitarku bernama Lucas. Aku memanggilnya Ko Lucas. Ia juga keturunan bermata segaris sepertiku. Usianya baru menginjak 23 tahun. Ia adalah mahasiswa Sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi swasta yang memang terkenal dengan bahasa asingnya.
Kali pertama aku melihat permainannya, aku kagum setengah mati. Permainannya jauh lebih mengesankan dari Om David. Kalau Om David bergaya dengan permainan otodidaknya, Ko Lucas bergaya dengan permainan berilmunya. Sama-sama keren, hanya punya tempat sendiri di hatiku yang tidak bisa disatukan.
Mataku tak bisa lepas dari jari-jari lentur miliknya yang dengan mudah menari-nari, bergeser ke atas ke bawah badan fingerboard.
“Koko dulu les apa belajar sendiri?”
“Dulu sempet les. Tapi terus belajar sendiri pake feel.”
“Oooo.....” Pantas berbeda, ternyata belajar dengan guru terlebih dahulu baru memperdalamnya saat sudah punya ilmu yang cukup.
Pertemuan pertama kami mirip-mirip seperti pertemuan pertamaku dengan Om David. Pelenturan jari. Aku diajari caranya fingering. Sebelum latihan gitar, wajib fingering selama kurang lebih lima belas menit agar jemari kita lentur.
Di terakhir pembelajaran, Ko Lucas memainkan instumental gitar lagu Doraemon. Makin jatuh cinta aku dengan gitar. Ternyata gitar bisa dimainkan seperti itu.