sari pati

F. Chava
Chapter #27

Menolak

Akhir-akhir ini Sandy senang menumpang bermain gitar di balkon kelasku. Padahal, kelasnya juga memiliki balkon yang tak kalah mengasyikkan. Kadang, aku suka menumpang melamun di sana karena bisa melihat jalan beraspal di depan gerbang sekolah.

Di jalanan itu, aku sering melihat para asisten rumah tangga yang hendak bekerja di rumah majikan mereka pada pagi hari atau pergi sebentar sekedar melaksanakan perintah. Aku senang melihat dua asisten rumah tangga yang sering lewat. Dari banyaknya asisten rumah tangga yang sering melintas, hanya mereka yang menarik perhatianku. Mereka yang sudah paruh baya itu asyik berbincang jika sedang melintas. Apakah mereka pernah punya impian sebelum menjalani hidup sebagai asisten rumah tangga di sebuah rumah gedongan?

Terdengar suara Sandy yang sedang asyik bernyanyi lagu rohani dengan iringan gitar. Aku menghampirinya lalu ikut duduk di sebelahnya. "Kemaren gua udah ngasih tau video Sungha Jung ke bapak gua," kataku memulai perbincangan.

Sandy menghentikan nyanyian dan iringan gitarnya. "Trus apa katanya?"

"Katanya temen bapak gua yang suka diomongin itu maennya kayak gitu juga."

Sandy mengangguk-ngangguk. "Hebat ya, jadi penasaran gua pengen ketemu sama temen bapak lu."

Jangankan Sandy, akupun penasaran ingin bertemu dengan teman Papa yang sering dibangga-banggakan itu. Sandy tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Sudah latihan berjam-jam, masih saja salah.

"Gua juga. Lu nggak kepikiran buat belajar maen kayak gitu juga?"

"Nggak, gua mah maen gitar cuma buat pelayanan di gereja doang. Sebenernya gua kurang tertarik sama gitar, gua lebih fokus ke suara sih." Aku akui, suara Sandy memang bagus saat bernyanyi. Tidak ada suara laki-laki yang bagus sepertinya di angkatanku. Dia memang yang terbaik. Hanya kalau dipikir-pikir, kenapa waktu kelas X malah aku yang maju sebagai perwakilan kelas untuk solo song? Aku masih dendam kalau mengingatnya lagi. Kesal sekali rasanya.

"Oya, gimana lesnya? Lu belum cerita." Dari wajahnya aku menerka bahwa ia menantikan cerita tentang guru gitarku yang luar biasa.

"Iya gitu deh." Aku bingung menjelaskan kepadanya. Soalnya, aku tidak paham teknik-teknik apa yang dipakai Ko Lucas saat bermain gitar. Pokoknya, jika Sandy melihatnya sendiri, pasti ia kagum setengah mati.

"Jago gurunya?"

"Yoi, lebih jago dari Om David. Ko Lucas namanya. Cuma ya buat gua sih dua-duanya punya tempat khusus di hati gua."

"Kalo udah jago jangan lupa ajarin gua, Feb."

"Yoi, tenang aja." Aku tidak akan melupakan kebaikannya yang selalu mengajariku semampu yang ia tahu.

***

Anak-anak sedang menggilai karaoke. Entah sudah dua sampai tiga minggu ini ada saja perkumpulan yang berniat pergi menghabiskan waktu berjam-jam dengan nyanyi-nyanyi tidak jelas seperti itu. Kalau disuruh lomba solo song, pasti semua pura-pura tak pandai menyanyi. Kalau karaoke, beda ceritanya. Semua berniat unjuk gigi.

"Feb, diorang ngajakin karaoke. Mau nggak?" tanya Sheny setibanya ia dari makan arema di kantin.

"Nggaklah. Kamu orang aja." Aku menolak tanpa berpikir panjang.

"Kenapa nggak mau ikut?"

Lihat selengkapnya