Pada pertemuan ketiga, Ko Lucas mengajarkan instrumental Kau Mengenal Hatiku sampai birama ke delapan. Pelajaran tetap diteruskan meskipun aku masih tersendat-sendat memainkannya. Kemudian pertemuan berikutnya aku diajarkan sampai ke reff pertama. Aku berhasil mempelajari instrumental Kau Mengenal Hatiku pada pertemuan ke enam. Selama lima minggu Ko Lucas dengan sabar mengajariku. Pertemuan ke tujuh tidak ada materi baru yang disampaikan dengan alasan aku belum lancar memainkan instrumental Kau Mengenal Hatiku.
Di rumah, aku berlatih tiga jam sehari hanya untuk mengulang-ngulang instrumental Kau Mengenal Hatiku. Aku merasa ada yang salah dengan materi yang sudah kupelajari. Mungkin seharusnya Ko Lucas mengajarkan teknik-teknik yang bisa membuat jariku lebih lentur sehingga aku tidak kesal sendiri karena masih saja tersendat-sendat meski sudah berlatih hitungan jam.
Selain berlatih gitar di kamar, aku punya tempat favorit lain yaitu, teras rumah. Terdapat kursi rotan memanjang yang sengaja diletakkan. Aku nyaman bermain gitar di kursi itu. Pas sekali dan membuat tubuh lebih rileks.
"Ni, lagunya kok gak ganti-ganti?" tanya Bule Yem, tetangga samping rumah. Jika aku memposisikan diriku sebagai Bule Yem, aku pasti akan bertanya hal yang sama.
"Iya, belum lancar. Masih belajar, Bule..," paparku sambil cengar-cengir menahan malu.
"Oh, Bule dengerin dari rumah lagunya itu terus."
"Hehe.." Selain senyum menahan malu, tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan untuk menutupi ketidakmampuanku menguasai instrumental ini. Setelah Bule Yem masuk ke rumahnya, aku buru-buru pindah ke kamar supaya tidak ada lagi yang bertanya hal serupa.
Apakah Sungha Jung juga pernah mengalami apa yang aku alami sekarang? Pasti pernah, pasti. Tidak mungkin orang langsung bisa dan piawai. Pasti ada masanya Sungha Jung tersendat-sendat.
Masih ada waktu sampai kelasku mendapat giliran memimpin ibadah di lapangan. Aku harus lancar memainkan instrumental Kau Mengenal Hatiku saat kesempatan itu datang. Pasti anak-anak akan kaget dengan kemampuanku dalam bermain gitar. Aku juga ingin dilihat, jangan Sandy melulu yang dipandang sebagai anak yang jago gitar. Aku pasti bisa jika berusaha sekuat tenaga. Pasti. Lagipula, ada Sheny yang terus mendukungku.
***
Tanggal 1 November Sheny berulang tahun yang ke-16. Di akhir pekan, kami diundang ke rumahnya untuk mengadakan pesta ulang tahun kecil-kecilan. Di lantai 4 yang tak beratap ini, kami bisa melihat langit dan bintang dengan leluasa. Tak ada halangan bangunan yang lain, sebab rumah Sheny sama tingginya dengan rumah yang paling tinggi di sini.
Tamu yang diundang tidak hanya aku, Linka, Selvi dan Rika. Sandy dan yang lain diundang juga untuk memeriahkan acara. Kebersamaan yang dipayungi bintang-bintang di angkasa memang berbeda. Terlebih hembusan angin yang menyejukkan lahir dan batin.
Linka kerajinan. Ia mengajukan diri sebagai tukang kipas-kipas sosis yang sedang dibakar. Padahal kalau di rumahku, mereka semua duduk manis seperti warga kerajaan berkasta tinggi. Linka membantu Koko[1]-nya Sheny, Ko Teddy membolak-balikkan sosis supaya tidak gosong. Selain sosis, di sini juga tersedia ayam bakar, soda, dan camilan seperti chiki dan keripik rasa ayam panggang.
Aku mengasingkan diri sebentar disaat mereka semua sibuk berkumpul menunggu sosis dan ayam. Di pembatas depan, aku memejamkan mata, merasakan euforia angin malam yang melegakan.
"Ngapain lu, Feb? Ngayal jadi mafia tah?" tanya Sandy tiba-tiba. Ternyata dia mengikutiku dari belakang. Sekarang ia sudah berdiri di samping.
"Ya, tapi bukan jadi mafia. Jadi pemain gitar."
"Pengen jadi kayak Sungha Jung ya?"
"Yoi," jawabku sambil menatap bintang yang entah kenapa berkerlap-kerlip saat aku mengiyakan pertanyaan Sandy.