Pada pertemuan ke delapan, tidak ada materi baru yang diberikan. Padahal aku berharap sekali akan mempelajari hal baru. Ancang-ancang yang sudah kupikirkan akhirnya berbuah menjadi keputusan. Genap dua bulan les gitar, aku memutuskan untuk berhenti. Les ternyata tak sesuai dengan apa yang ada di khayalan. Biasa-biasa saja. Dua bulan ini aku merasa biasa saja. Tak ada perubahan yang signifikan.
Selama dua bulan ini, materiku hanya mengulang satu instrumental lagu. Gila, ratusan ribu dihabiskan hanya untuk mempelajari satu lagu. Apakah semua yang les gitar seperti ini? Jika ya, apa gunanya manusia diberikan insting yang luar biasa oleh Sang Pencipta?
Yang aku butuhkan dari sebuah les adalah materi yang mengajarkan aku untuk mandiri. Materi yang bisa menjadi dasar untukku memperdalam musik. Bukan jadi burung kicau yang mengikuti. Bukan jadi burung beo, yang meniru habis-habisan tanpa improvisasi.
Keputusan ini kuambil atas pertimbangan sendiri. Orang tuaku tidak mengetahui. Kalau tahu les seperti ini, lebih baik uangnya kusimpan dua bulan lagi untuk membeli gitar baru. Yang suaranya lebih jernih. Tidak mendam seperti gitarku saat ini. Harganya tak lebih dari tiga ratus ribu.
Musik benar-benar sulit dipahami. Bukankah musik itu sebagai media berkreasi? Berekspresi sesuai isi hati. Tapi kenapa yang kualami bukan seperti yang aku amini di dalam mimpi-mimpi selama ini?
Telah puluhan kali aku membayangkan bahwa aku akan menjadi murid les yang misterius dan pintar. Lalu, guruku akan mengagumi kepandaian yang kumiliki. Kepintaranku ini akan tersebar kabarnya sampai ke telinga murid-murid lain. Orang-orang akan penasaran. Sampai akhirnya, aku akan jadi orang yang keren. Yang mempelajari musik dengan sepenuh hati. Musnahlah imaji dan ambisi.
Di pertemuan yang terakhir, aku tidak mengucapkan salam perpisahan pada Ko Lucas. Keputusanku tidak ada hubungannya dengannya. Ini murni karena harapan yang terlalu tinggi dibandingkan kenyataan. Setiap lembaga pasti punya aturannya sendiri. Aku paham bahwa Ko Lucas melakukannya berdasarkan instruksi. Bukan keinginan dari hati.
Sekarang, satu-satunya yang bisa kuandalkan adalah diri sendiri, juga kepercayaan Sheny. Jika dia saja percaya, akupun harus mempercayai diriku sendiri.
***
Pukul 5 sore, aku pergi bermain ke rumah Linka. Tidak ada Selvi, Rika, dan Sheny. Aku datang sendirian karena memang ada tujuan. Selain dekat, rumah Linka terasa nyaman terlebih keluarganya yang ramah terhadap kami semua.
Biaya internet di hp cukup mahal. Demi 1GB kuota internet, aku harus merogoh kocek lima puluh ribu. Mau mengandalkan wi-fi di sekolah susahnya setengah mati. Setiap hari password-nya diganti-ganti. Memang dasar sekolah Kotak Sabun pelitnya minta ampun. Satu-satunya teman yang aku tahu memasang wi-fi di rumahnya adalah Linka.
Aku duduk manis di ranjang samping komputer. Linka tengah sibuk menatap layar monitor. "Mau download video apa?" tanyanya dengan tangan kanan yang sudah memegang mouse. Ia membuka YouTube dan mengetikkan Sungha Jung di kolom pencarian. Jari telunjuknya men-scroll mouse. Berbagai video permainan gitar terpampang jelas. Aku bingung harus memilih yang mana.
"Just The Way You Are!!" Aku menunjuk salah satu video dengan telunjukku.
"Oke, terus apa lagi?"
"Hmmm..." Mataku terus mengamati layar monitor. Linka menurunkan tampilan video pelan-pelan sehingga aku bisa membacanya satu persatu.
"Someone Like You, I'm Yours."
"Apa lagi?"
"Udah itu aja. Ntar gua bisa dateng ke sini lagi." Senyum mengembang di bibirku. Linka menaikkan bibir sebelah kirinya sambil menatap dengan mata yang hampir hilang.