sari pati

F. Chava
Chapter #32

Tes Bakat

Untuk mengawali awal semester genap, Bu Lydia selaku guru BK mengadakan sebuah tes minat dan bakat. Kami diminta mengisi sebuah angket dengan jujur.

Hasil yang kuperoleh menunjukkan bahwa bakatku ada di bidang musik dan bahasa. Aku mengernyitkan dahi untuk beberapa saat. Bahasa? Apa benar aku punya bakat di bidang bahasa? Ini seperti keajaiban yang aneh. Ini pasti kesalahan, aku tidak mungkin punya bakat di bidang bahasa.

Di kelasku, hanya ada 3 orang yang punya bakat musik. Aku cukup bangga. Dua yang lain adalah Adit dan Hanna.

“Wah, Febri hebat punya bakat musik,” puji Okat, ia menepuk kedua tangannya dengan wajah yang sumringah.

Aku tersenyum malu. Padahal dalam hati girang betul dipuji seperti itu. Khayalanku secara otomatis membayangkan kelak aku akan memainkan solo gitar di panggung yang megah. Ditonton oleh ribuan pasang mata. Senangnya.

"Gua bakal jadi pemain gitar professional. Gua bakal.." Belum selesai bicara, ada suara lain yang menyamarkan ucapanku sehingga aku terpaksa berhenti.

“HAH!!” ledek Hanna tiba-tiba sambil bergaya seperti orang keterbelakangan mental. Kedua tangannya bergantian naik turun ke atas. "AE.. AE.. AE..!!" Ia menirukan suara orang tuna rungu.

Okat yang mendengarnya langsung memberikan senyum tidak enak. Lalu membalikkan badan dan sibuk menulis. Aku langsung diam, mengurungkan niat untuk melanjutkan ucapan bahwa aku akan jadi pemain gitar yang menginspirasi banyak orang.

Wajah Hanna menunjukkan ketidaksukaan. Aku tahu, ia tidak menyukaiku semenjak aku bergelut serius pada gitar. Aku selalu bilang pada siapapun, bahwa kelak aku akan jadi pemain gitar nomor satu di dunia! Mungkin dia sebal dengan impianku itu.

Memang sejak akhir semester satu, ketika aku mengucapkan keinginan menjadi pemain gitar, ia selalu memotong atau bahkan memberikan pengetahuannya tentang seorang pemain gitar yang jago betul sampai bisa meniup harmonika di tengah-tengah pertunjukan solo gitarnya. Tidak hanya itu, Hanna juga bercerita bahwa ia bisa baca not balok. Ucapan-ucapan itu terkesan seperti menyudutkanku. Bodohnya, aku tidak sadar akan maksud dan tujuannya. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan bertindak sejahat ini.

Lihat selengkapnya