“Where is the location of post office?” Soal latihan Bahasa Inggris diperiksa bersama, sebelumnya sudah ditukar terlebih dahulu. Supaya benar dan salahnya tidak curang. Tahu sendiri kalau latihan diperiksa masing-masing. Semua pasti cuma salah satu. “Ei accross the bank, bi in front of the mosque, si behind the school, or di at the right side of the bank.”
“Si (C), Bu.” Teman-teman kompak menjawab. Mendengar si, aku jadi teringat akan iklan sebuah parfum yang sering wara-wiri di TV. “She.. Lalalalala... She!!” ucapku tiba-tiba.
Serempak teman-temanku tertawa. Momen yang tepat. Mencairkan suasana yang sejak awal sedingin es. Kami memang tak bisa leluasa saat pelajaran Bu Winda. Apalagi Alfi, mati kutu dia.
“Feb, berani bener lu ama Bu Winda,” bisik Alfi. “Gua aja males banget kalo pelajaran dia. Daripada disindir. Mending diem.”
“Biar ngga ngantuk cuy. Bosen gua.”
Bu Winda memandangku datar. Mungkin memang tak punya selera humor.
“Febri.. Febri.. Kamu ini bercanda aja bisanya,” kata Bu Winda.
Setelah istirahat ke dua, kelas kami bebas pelajaran. Setiap kelas pasti dapat giliran menjadi petugas ibadah minggu depan. Bulan ini, giliran XI Ak 1 yang bertugas. Aku terpilih sebagai pemain gitar. Memang itu yang aku harapkan. Hal yang sudah kutunggu hampir satu tahun ini.
“Feb, lu bisa maen lagu Lebih Dari Pemenang nggak?” tanya Hanna. Aku pernah beberapa kali mendengar lagu itu saat ibadah di hari Minggu.
Aku kurang pandai dalam memainkan lagu rohani. Aku bukanlah remaja yang rajin menghabiskan waktu di gereja. Bukan juga seorang anak yang sama sekali tidak mau pergi ke gereja. “Ntar gua belajar, masih ada waktu. Belom pernah maen sih.”
“Kalo lu nggak bisa, minta tolong Sandy aja," tukasnya tanpa basa-basi. Aku tercenung, berusaha mencerna kalimat yang paling aku hindari. Dia lagi. Dia lagi.
"Belajar bentar bisa kok," kataku.
"Ini udah hari Jumat. Besok kan kita libur. Udah gak ada waktu lagi mau belajar."
Hanna memang tidak pernah menganggap keberadaanku. Aku selalu menjadi bayangan. Di rumah, aku menjadi bayangan Asuk Asen. Di sekolah, aku menjadi bayangan Sandy.
Aku menebarkan pandangan ke seluruh kelas. Mengharapkan Okat, Sheny, Alfi, atau siapapun yang memiliki hati mencegah aksi Hanna dan memberikan satu kesempatan. Ternyata, mereka tidak ada yang menganggap bahwa penggantian pemain gitar itu suatu masalah yang besar. Mereka diam. Memberikan kekuatan sepenuhnya pada Hanna.
Bagiku, momen ini adalah momen yang paling kutunggu. Selama satu tahun, ini adalah momen yang paling kuharapkan; dipilih menjadi pemain gitar saat ibadah di lapangan. Ternyata, hal sederhana ini pun tidak bisa aku dapatkan. Hanya karena tidak bisa memainkan satu lagu. Ah, bukan, maksudku hanya karena aku belum pernah memainkannya, Hanna menggantiku seenaknya. Mungkin bagi Sandy atau yang lain, ini adalah hal yang biasa. Tapi, bagiku sama sekali tidak. Aku begitu mengharapkan momen ini. Aku juga ingin menjadi manusia yang dilihat banyak orang. Aku ingin dilihat karena aku bisa melakukan sesuatu. Aku ingin dilihat!
Kenapa tidak ada satu orang pun yang melihatku sebagai manusia yang utuh? Kenapa seluruh manusia di kelas ini tidak ada yang mengerti? Apa aku salah jika ingin dilihat sekali saja? Aku benci Sandy. Aku benci dia. Seandainya dia tidak ada, pasti aku yang dipilih sebagai pemain gitar untuk ibadah Senin depan. Kenapa dia harus masuk hari ini. Kenapa!
Aku ingin marah. Ingin membanting semua benda yang ada di kelas ini. Atau setidaknya aku ingin menendang meja dan kursiku sendiri sampai hancur. Sampai tak berbentuk!
Beberapa saat kemudian, Sandy datang. Hanna yang anggota OSIS sepertinya mudah untuk meminjam Sandy dari kelasnya. Aku terduduk lesu. Menatap nanar papan tulis. Suara iringan gitar itu seperti palu godam yang menghantam dada berkali-kali. AKU MUAK!!
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku masih tidak menerima. Hari ini aku berjalan lebih cepat dari biasanya. Aku ingin naik angkot sendirian. Duduk di paling belakang, menempel pada salon yang suara bassnya kadang menggetari tubuh. Sambil melihat ke belakang, air mata keluar sepenuhnya. Aku tidak sanggup lagi menahan sesak di dada.
Kosong, sangat kosong. Apa yang sudah diperjuangkan, latihan berjam-jam setiap hari, tetap tak merubah apapun. Aku tetap pecundang. Percuma belajar instrumental lagu. Percuma bisa memetik gitar dengan 3 jari. Memainkan lagu Lebih Dari Pemenang saja aku tidak bisa. Aku benci lagu itu. Sampai kapanpun aku benci lagu itu!
Setiba di rumah, aku melemparkan tas selempang sekuat tenaga. Aku menonjok dinding sekuatnya. Rasa sakit fisik lebih baik ketimbang hati yang tertusuk-tusuk. Aku mengambil gitar yang tergeletak di kasur. Gitar yang baru dibelikan Papa dua minggu yang lalu sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-16. Aku memasukkannya ke dalam almari baju. Lalu menutup almari itu kuat-kuat!
Brakkk!! Biar saja hancur! Biar saja! Semua sudah tak ada gunanya!
"Kamu kenapa? Pulang-pulang kenapa marah-marah, banting-banting?" Mama membuka pintu kamar. Aku menangis. Sudah tidak kuat lagi menahannya. Aku menangis kencang, menutupi wajahku dengan bantal sampai sulit bernapas.
"Kamu kenapa? Cerita.." Mama duduk di sebelah. Adikku melihat dari muka pintu. Ia sedang memegang boneka domba yang kubelikan September kemarin.
Aku terus menangis. Bingung harus menjelaskannya bagaimana. Aku bukanlah orang yang bisa menjelaskan semuanya. "Nggak papa," kataku sesegukan.
"Nggak papa kok nangis sampe kayak gini?"