sari pati

F. Chava
Chapter #34

Ruang BK

Sebulan lebih setelah kejadian itu, gitar Yamaha CX40 masih tidur nyenyak di dalam almari. Aku sama sekali tak berniat memainkannya, atau bahkan menyentuhnya. Rasanya, ingin kuhancurkan saja, aku ingin menginjak-injaknya sampai berkeping-keping. Percuma latihan gitar selama ini. Percuma. Tidak berguna!

Aku pikir semua orang berhak menyerah. Persetan dengan kata-kata umpama bahwa kesuksesan lahir dari banyaknya kegagalan. Aku hanya punya satu kesempatan itu, tidak ada pilihan dan cadangan lain. Aku bukanlah Sandy yang sering dimintai tolong sebagai pengiring. Aku juga ingin diakui seperti dia. Bukan mengakui diri sendiri; menjadi pemain gitar terbaik di dunia. Setelah kupikir-pikir, betapa menyedihkannya memuji diri sendiri saat tak ada orang yang mengakui. Aku juga merasa kesepian, tolong lihat sebentar aja. Apakah sulit memberikan satu kesempatan pada orang yang sangat mengharapkannya? Satu tahun aku menunggu. Satu tahun aku berlatih hanya untuk momen kemarin. Hancur dalam hitungan menit!

Semua sudah terjadi. Aku sudah mati satu bulan yang lalu. Mimpiku sudah musnah. Aku akan berhenti bermain gitar. Percuma, semuanya percuma. Tidak ada yang percaya. HAHAHANJING!!

***

Aku bertekad untuk tidak akan membawa gitar lagi ke sekolah. Tidak ada gunanya juga. Jangankan merasa bersalah atas apa yang telah terjadi, sadarpun tidak. Kini aku lebih banyak diam. Humor di kelas berubah menjadi sesuatu yang memuakkan. Aku ingin cepat-cepat lulus dari sini. Aku benci sekolah ini.

Hari-hari kini hanya berisi tentang khayalan, lalu pulang. Begitu seterusnya. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk melindungi diri. Jika tidak diperlukan, aku tidak akan bicara. Aku hanya akan menjawab jika ada yang bertanya.

Waktu berjalan cepat. Aku mulai terbiasa untuk bersikap acuh dan tak acuh terhadap suasana kelas. Menutup diri adalah perisai agar tidak perlu terluka lagi. Tidak menjadi apa-apa lebih menyenangkan ternyata. Aku tidak perlu terluka. Tidak perlu merasa tidak dianggap.

Sudah beberapa hari ini, anak-anak tertentu sering dipanggil untuk menghadap ke ruang konseling. Saat sedang duduk melamun, tiba-tiba siswa dari kelas lain memanggilku.

Aku memasuki ruangan kecil di sebelah kelas. Ruangan yang sudah beberapa hari ini dimasuki oleh beberapa murid bermasalah.

"Duduk, Feb," pinta Bu Anna. Kami duduk berhadapan dibatasi meja kayu yang besar.

Bu Anna menyatukan sepasang telapak tangan, lalu meletakkannya di meja besar itu. "Kamu kenapa?" tanya Bu Anna memulai. Matanya menelisik dalam.

"Maksudnya?" Aku benar-benar tidak paham. Ternyata diam pun di sekolah ini bermasalah. Lantas, aku harus apa? Meski aku menyayangi Bu Anna, tetap saja Bu Anna tidak mampu menolongku di kejadian waktu itu. Kalau pun ada, Bu Anna pasti memilih Sandy. Dan jika hal itu terjadi, aku akan membencinya sama seperti yang lain.

"Ibu perhatiin, kamu sekarang lebih banyak diem, Feb. Dulu waktu kelas X masih suka bercanda sama temen-temen. Sekarang kerjaan kamu di kelas cuma ngelamun aja. Ada masalah, ya?"

Lihat selengkapnya