Formasi kelas berubah lagi ketika naik ke kelas XII. Dengar-dengar, formasi kelas XII ini akan sama seperti kelas X dulu. Jika benar, akan ada dua hal yang aku rasakan. Pertama bahagia, kedua tersiksa. Aku tidak ingin lagi melibatkan perasaan terhadap gitar. Aku sudah memutuskan semuanya.
Gosip yang sudah menyebar ternyata salah, kelas XII dibagi menjadi tiga kelas sesuai abjad. Gunanya untuk membiasakan diri saat menghadapi Ujian Nasional nanti. Ada rasa sedih, tahun terakhir ini aku tidak sekelas dengan Sheny. Nama depannya S, sementara nama depanku F. Aku masuk di kelas XII Ak II, Sheny masuk di XII Ak III. Kami berpisah dalam diam. Aku pikir, melibatkan orang terdekat akan masalah sendiri adalah sebuah kesalahan. Semoga dengan berbeda kelas, Sheny mendapatkan teman yang lebih normal dibanding aku.
"Woyy Mafiaaa!!!" Si kaki kursi berlari dengan tubuh kerempengnya itu lalu merangkul pundakku. "Kita sekelas lagi coyyyy!!!" Bahagia betul Maya. Ia membentuk simbol metal pada tangan kanannya. Alfi juga kebetulan sekelas juga dengan kami. Nama depannya H, Alfi hanya nama panggilan saja. Sebagai agen, aku wajib merahasiakan siapa nama aslinya. Lupakan gitar, aku sudah tidak mau lagi menjadi pemain gitar. Aku tetap jadi agen rahasia saja.
Sebelum berebut, aku buru-buru meletakkan tasku di bangku paling belakang. Alfi mengikuti, ia juga duduk di sebelahku. Sementara Maya kebagian di depan Alfi.
"Gila asyik lagi ini mah kelas kita. Isinya orang-orang gila semua!" kata Maya kegirangan. Aku tersenyum saja, suasana hati sepertinya lebih baik saat kelas XII. Aku mau mulai membuka diri lagi. Hanya saja, untuk ceria seperti waktu kelas X, aku tidak bisa. Sudah banyak luka yang kuterima semenjak mengganti cita-citaku. Berbakat musik saja tidak boleh, apalagi menjadi seorang pemusik. Hahaha.
Seiring berjalannya waktu, kuakui kelas XII Ak II jauh lebih baik dibanding kelas XI kemarin. Aku hampir-hampir tidak bisa bernapas semenjak kejadian itu. Kini, semuanya terasa lebih mudah. Saat melihat Sandy bermain gitar, aku sudah biasa saja. Lagipula, aku sudah menyerah.
Berbulan-bulan lamanya aku sering menghabiskan waktu membaca buku di Gramedia. Buku yang kubaca pun bukan sembarang buku, aku lebih memilih membaca buku spiritual dan pengembangan diri. Sepertinya baik untuk mengendalikan emosi dan diri yang sempat hancur. Tidak baik juga berlarut dalam kesedihan. Terlebih, orang yang membuatnya tak merasakan apa-apa.
Mungkin, bagi sebagian orang hal yang kualami terdengar berlebihan. Namun, pasti ada sebabnya mengapa orang begitu terluka. Selama menggeluti gitar hampir satu tahun, aku selalu menjadi bayangan orang lain; Sandy dan Asuk Asen. Aku hanya ingin dilihat satu kali. Dan kesempatan satu kali itu, jauh dari harapan. Tersentuh pun tidak. Jadi, ketimbang jadi bayangan lebih baik aku mencari bayanganku sendiri. Mungkin sudah jalannya aku menjadi agen rahasia di dalam khayalan sendiri.
***
Waktu berjalan semakin cepat, padahal baru kemarin aku menjadi siswa baru di sekolah ini. Sekarang aku sudah kelas XI di pertengahan semester. Sebentar lagi, Sheny akan berulang tahun. Di ulang tahunnya yang ke-17 ini, aku ingin memberikan kado sekaligus kenang-kenangan. Aku sudah memutuskan, setelah lulus nanti aku tidak mau lagi berhubungan dengan anak-anak sekolah Kotak Sabun, termasuk Sheny.
Setiap malam, aku memikirkan kado apa yang cocok diberikan. Kado yang akan membuatnya selalu mengenangku, dan kenangan itu tak akan tertimbun hal apapun. Beberapa hari ini aku mencari artikel yang berisi tentang kado terbaik untuk sahabat. Pelan-pelan aku membacanya dengan seksama. Intinya, semua artikel yang aku baca menyarankan bahwa aku harus memberikan kado yang tidak ternilai.
Awalnya aku ingin bertanya pada Maya, namun ketika aku pikir-pikir lagi, pasti sarannya tidak akan sesuai harapan. Apalagi Alfi, mana tahu dia. Pacarnya saja diberi julukan tabung gas, anak rel, bayi tabung. Satu-satunya orang yang bisa aku tanya perihal kado terindah adalah Rani, em em kiu.
Di istirahat kedua, Mimiqu sedang menyumpal telinganya dengan earphone yang tercolok di hp Nokia C3 miliknya. Aku berpikir agak lama, apakah Rani bisa memberikan saran yang terbaik?
"em em kiu," sapaku sambil menoel pundaknya dengan jari telunjuk.
Ia menoleh, lalu mencabut earphone miliknya. "Apa, Feb?"
"Gua.. mau.. nanya...." Agak ragu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Aku butuh saran untuk memberikan kado terindah di ulang tahun Sheny.
"Nanya aja lagi, gausa ragu-ragu gitu," jawabnya santai. Mata kami bertemu. Sebagai orang yang sama-sama misterius pada awal masuk sekolah, aku merasa dia orang yang tepat.
"Menurut lu, kado yang tak ternilai itu apa?"
"Maksudnya? Lu mau kasih kado buat siapa?"
"Sheny. Dia kan mau ultah yang ke-17. Gua pengen kasi kado yang berkesan. Pas gua cari di internet, katanya disuruh kasih kado yang tak ternilai. Gua nggak paham."
Ia mengangguk. Kemudian diam agak lama. Matanya menatap jendela kelas. Langit terlihat sangat biru. Hanya beberapa awan yang sedikit menggumpal. "Kado tak ternilai itu kado yang lu buat sendiri khusus buat dia."
"Jadi nggak bisa dibeli?"
"Nggak." Ia menggeleng sebentar, kemudian menjelaskan, "kado yang nggak ternilai itu kado yang kita buat sendiri. Makanya dibilang nggak ternilai, karena kita sendiri yang buat untuk orang yang kita sayang."
"Oh, gitu ya? Apaan ya? Gua nggak bisa apa-apa. Nggak kreatif kalo buat-buat gitu."
"Lu kan bisa main musik," katanya. "Ya maen musik aja buat dia."
Mendengar sarannya, keraguan mulai timbul. Aku sudah tidak pernah membawa gitar lagi ke sekolah. Ini adalah sumpah yang aku ucapkan di dalam hati saat kejadian itu. Aku bersumpah bahwa aku tidak akan membawa gitar lagi.
Di perjalanan pulang, angkot yang kutumpangi tengah memutar lagu Jamrud yang berjudul Selamat Ulang Tahun. Aku mendengarkan setiap aransemen musik dan liriknya. Terbesit ide untuk menciptakan lagu yang mana liriknya terbilang sederhana namun bermakna sangat dalam. Setiba di rumah nanti, aku akan membuatkan lagu untuknya. Lagu yang khusus kubuat hanya untuknya. Jika orang lain mendengar lagu ini, mereka akan otomatis mengingat Sheny.
***
Aku tahu hari ini