sari pati

F. Chava
Chapter #36

ABRSM

Jumat, 24 Mei 2013. Seluruh siswa di angkatanku kembali datang ke sekolah usai menjadi pengangguran sementara menunggu hasil kelulusan. Kami datang beserta orangtua. Pukul satu siang, kami beserta dewan guru berbaris di lapangan. Amplop putih yang sudah tertera nama kami dibagikan satu persatu.

LULUS

Satu-satunya kata tunggal yang kami semua harapkan. Mama menangis. Mungkin merasa haru mengingat setahun yang lalu aku pernah meminta berhenti sekolah. Aku juga senang bisa sampai di tahap ini; tahap selesai belajar formal selama 12 tahun.

Teman-temanku beriringan mengendarai sepeda motor. Sekolah sebetulnya sudah melarang untuk melakukan aksi coret mencoret baju dengan pilox dan sejenisnya. Namun, mereka tetap melakukannya. Ini semacam euforia yang menandai bahwa kami akan menghadapi dunia yang sesungguhnya.

Meski dibujuk beberapa kali, aku tetap pada pendirian. Aku ikut pulang bersama Mama. Bagiku mengenang tak perlu mencoret baju. Baju sekolah tetap kusimpan rapi di almari, baju putih abu-abu pun bisa seperti video berputar kelak nanti ketika masa ini termakan waktu.

Dua minggu sebelum pengumuman kelulusan, sebenarnya aku sudah bekerja di sekolah kecil sebagai pengiring paduan suara. Di hari yang sama, salah seorang staf senior di tempat PKL-ku setahun yang lalu datang ke bengkel Papa untuk menawariku bekerja di sebuah kantor konsultan pajak, tempat kerja barunya.

“Shen, gua bingung, jadi gua milih yang mana?” tanyaku kala itu. Kalau boleh memilih, aku ingin bekerja di sekolah itu. Aku tidak suka akuntansi, meski nilai akhir praktek akuntasiku di atas 90.

“Ya lu ikutin kata hati lu aja, Feb.”

Akhirnya, kuputuskan untuk bekerja di sekolah itu. Memiliki pekerjaan yang memang dunia kita adalah hal yang sangat langka terjadi. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kalau aku melepaskannya, belum tentu bisa mendapatnya kembali.

2 Juni 2013, aku mengajaknya pergi menonton dan makan dengan gaji pertamaku. Kami menonton Fast and Furious dan makan di Solaria.

“Keren ya tadi filmnya, asleee...” kataku sambil menunggu makanan datang. Kami memesan dua paket nasi sapi lada hitam dan dua gelas besar es teh manis.

“Gua sebenernya semalem udah nonton, Feb.”

“Haaa? Kok nggak bilang tadi? Kan bisa nonton yang laen.” Perasaan tak enak langsung menghantui. Seharusnya ketika memilih film tadi, aku bertanya dulu padanya.

“Ya nggak papa. Lu kan belum nonton. Jadi gua temenin aja.”

Menu yang kami pesan datang. Perut sudah minta diisi sesuap nasi. Menonton film seru dari awal hingga selesai membuat kita perlu makanan lagi sebagai cadangan energi.

Tak ada sebutir nasi yang tersisa di piringku. Semua sudah mendarat sukses di perut yang mulai membuncit. Setelah makan, aku mengajaknya naik ke lantai atas, untuk menciptakan sedikit kenangan.  

Kami masuk ke photobox. Karena hanya berdua, dan aku tidak bisa apa-apa. Maka, ia mengatur ulang model foto apa yang akan kami cetak. Terkenang aku akan momen di mana kami berlima berfoto di kotak kecil ini. Satu dua tiga. Beberapa foto sudah diambil dengan resolusi yang terbaik. Kami memilih yang terbaik. Lalu menekan tombol cetak yang tersedia di bawah monitor pengaturan. Kami membagi dengan jumlah yang sama.

“Kasetnya lu aja yang simpen. Gua mah fotonya aja.” Aku menyerahkan CD foto kepadanya.

“Oke.”

Lihat selengkapnya