sari pati

F. Chava
Chapter #37

Surat

Hampir empat tahun setelah lulus, ada perasaan aneh yang sering muncul. Aku jadi rindu sekolah. Secara tiba-tiba, aku sangat merindukannya. Rindu suasana bising yang membuatku asing. Rindu suasana dimana semua orang saling berpikir dangkal dan egois. Termasuk aku, yang ingin waktu terhenti sejenak karena penolakan yang bertubi-tubi datang. Aku juga tidak pernah berjumpa dengan Sheny lagi.

Selama hampir empat tahun ini, aku berusaha sekuat tenaga untuk menemukan jati diri. Setahun setelah kelulusan, Sheny pernah mengirimi pesan di pesbuk. Ia berkata bahwa ia rindu padaku. Aku malah menjawab bahwa aku tidak ingin kami bertemu sampai aku jadi sosok yang bisa dilihat semua orang. Jika sampai 20 tahun mendatang aku belum sukses, maka kami tidak akan pernah bertemu. Aku bahkan tidak menyimpan nomor hp-nya. Aku harus sukses di bidang yang aku percaya aku bisa melakukannya. Aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu. Bermain atau berkumpul di luar, dosa besar bagiku. Jika aku bersantai-santai, banyak orang di luar sana yang akan mengalahkanku. Aku tidak mau kalah lagi.

Berkeras pada diri sendiri membuat hidupku sepi. Keceriaan dan kebahagiaan memang nampak di luar, namun ada sesuatu yang selalu mengganjal di dalam hati. Aku tidak tahu, apakah berlaku terlalu keras pada diri sendiri merupakan suatu kebenaran? Tapi, aku tidak mau kalah lagi. Kesakitan di masa sekolah masih sangat menghantui hingga sekarang. Aku merasa masih menjadi sosok yang payah. Aku tidak akan pernah berhenti sebelum aku mendapat pengakuan dari orang lain.

Aku rindu bergosip. Aku sering bermimpi sedang ada di kelas X Ak II. Jika malam berganti pagi dan mimpi itu datang lagi, aku sering terburu-buru pergi ke kamar mandi dan menyiapkan seragam sekolah. Namun, ketika keran air telah menyala, aku tersadar bahwa semua ini adalah mimpi yang berubah menjadi delusi.

Aku rindu sekolah. Rindu sekadar menertawakan Maya karena gaya lay up-nya yang berbeda dari kebanyakan siswa lainnya. Rindu sekadar menertawakan Della dan Alfi yang saling ejek mengejek hingga berubah menjadi rasa. Rindu sekadar mencandai Bu Anna yang selalu hangat padaku. Rindu sekadar melawan guru di mana saat itu, kebanyakan menjadi pemberontak adalah hal yang paling keren untuk dilakukan. Kau bisa terkenal dan jadi beken sebagai anak sekolahan dengan gaya berandalan.

Gedung sekolah Kotak Sabun itu tak berbeda. Hanya berubah warna dan sedikit mengalami renovasi. Kini aku sudah membawa motor sendiri. Motor astrea tahun 1996 yang kumodif dengan gaya sendiri. Dengan bantuan Papa, segala khayalan tentang motor impian bisa terwujud. Kini aku tidak perlu berbohong lagi. Bahkan sekarang aku bisa mengendarai sambil berdiri. Hebat bukan?

Motor pertamaku adalah Kawasaki hijau 130cc yang dibelikan Papa di usiaku yang ke-18. Itu pun motor pilihanku, aku enggan memakai motor keluaran terbaru. Sudah basi, aku suka barang lawas dua tahun terakhir. Motor itu masih ada di bengkel dan tidak dipakai.

Yang aku sukai dari barang lama adalah karena barang itu akan tetap menjadi barang lama. Sementara barang baru lama kelamaan akan menjadi barang lama. Barang lama lebih konsisten dibandingkan barang baru. Ia tak berubah meski tergerus waktu.

Jendela antik setengah tertutup yang ada di kelasku itu sudah tidak ada. Kini gedung sekolah Kotak Sabun itu sudah dihiasi jendela-jendela alumunium berkaca hitam sehingga kau tidak bisa melihat lagi apa saja isi di dalamnya.

Saat melewati Kotak Sabun, aku melihat sendiri diriku yang sedang berjalan ke bawah menuruni beberapa anak tangga dan menunggu angkot berwarna abu-abu. Tubuhku membungkuk. Rasa tak percaya diri ternyata sudah mendarah daging sejak dulu. Terlihat juga Sheny dengan wajah sumringahnya yang selalu di sebelahku. Aku ingin itu terulang lagi. Aku rindu Sheny. Sangat merindukannya. Namun, aku malu jika harus mengatakannya.

Dua orang itu berjalan membelakangi. Mereka berdua asyik berbincang. Yang satu membahas tentang impiannya menjadi seorang agen rahasia, yang satu hanya menjadi pendengar. Selalu menjadi pendengar setia.

Kendaraan yang melintas tak mampu mencegahku untuk melihat diriku sendiri di masa lalu dan teman sejati yang baru kusadari sekarang. Mentraktirnya dengan gaji pertama adalah momen pertemuan terakhir kami. Banyak jarak yang membuat kami terpisah. Kesibukan dan waktu yang tidak pernah pas hanya mengizinkanku untuk menyebutnya di dalam doa yang setiap pagi kupanjatkan. Aku berharap dia baik-baik saja, sampai kapanpun akan baik-baik saja.

 ***

Sheny sudah menjadi seorang sarjana. Ia membutuhkan waktu kurang dari 4 tahun untuk menyelesaikannya. Aku yang awalnya ragu-ragu untuk mengucapkan selamat, akhirnya berani juga meski hanya lewat pesan di Instagram.

“Makasih, febriiii... Dateng ya minggu depan ke wisuda gw!!!” balasnya.

Agak lama aku mengetik. Bingung harus membalas apa. Ada kikuk yang kembang kempis karena jarak yang memisahkan semakin terbentang. Aku mulai mengolah kata, membentuknya menjadi kalimat tunggal yang nyata. “Gak bisa gw, Cecequ. Mau les viola.”

Cepat sekali ia membaca dm di IG, belum semenit, akunnya menampilkan bahwa ia sedang mengetik. “Viola itu biola ya? Wah keren dedequ!”

“Bukan, dia instrumen string satu family sama biola, tapi ukurannya lebih gede dikit. Tapi lebih kecil dari cello. Tengah-tengahlah." Aku bingung bagaimana menjelaskan kepadanya. Pokoknya ya seperti itu lah.

Ia mengetik lagi. “Yaaaahhhh:( jadi ga bisa dong dateng ke wisudaan gw? Hiks :(“

Next time ya, ntar gw kasih kado deh. Semangat Cecequ!”

“Makasih dedequ :*”

Lihat selengkapnya