April 2018, aku mengikuti pelatihan wasit juri. Dua tahun lebih aku berlatih silat. Dua tahun lebih kekurangan tidur karena latihan silat dimulai pukul 8 malam. Setelah beberapa kali mencoba peruntungan bertanding di gelanggang, kuputuskan untuk berhenti.
Perutku mengalami sakit yang hebat saat bertanding di pertandingan yang terakhir. Aku bertanding di kelas A dewasa dan mendapatkan lawan dari pesilat Jawa Timur. Tendangan maut pesilat itu mendarat dengan mulus di perutku. Sampai tiga bulan lewat pertandingan itu, perutku masih merasakan sakitnya. Karena itu, pelatih memintaku untuk mengikuti pelatihan wasit juri. Beberapa orang terdekatku memintaku untuk tidak turun dalam pertandingan lagi. Aku menyadari, bahwa butuh latihan ekstra untuk bisa menjadi hebat karena aku merasa bahwa bela diri bukanlah bakatku. Cukup di khayalan saja.
Sebulan setelah itu, aku turun sebagai wasit dan juri untuk pertama kalinya. Dari pagi hingga malam, aku bertugas menilai dan menjadi pemimpin dalam sebuah pertandingan. Tugasku berakhir pada partai terakhir, pukul setengah dua belas malam.
Menjadi seorang wasit dan juri, aku belajar untuk bersikap seadil mungkin. Aku pernah dicurangi saat pertandingan pertamaku di bulan Maret 2017. Saat itu, pelatihku bilang kalau aku menang. Namun, bukan tanganku yang diangkat sebagai juara. Melainkan lawanku.
Dua bulan setelahnya, kejuaraan IYos diadakan di Bandar Lampung. Aku berkesempatan untuk menjadi wasjur di pertandingan itu.
Setahun belakangan, aku mulai membuka video di YouTube tentang cara membuat gitar. Sebenarnya, setelah mendapatkan sertifikat ABRSM, aku merasakan hampa yang luar biasa terhadap apa yang sudah kupelajari. Apakah yang ingin kucapai selama ini? Aku bertanya-tanya di dalam hati. Apa semua ini terasa hampa karena sakit hati di masa sekolah? Apa karena motivasiku yang salah? Saat semuanya tercapai, aku tidak bahagia.
Di akhir 2017, aku memutuskan untuk berhenti mempelajari viola.
Sebenarnya, sehari sebelum mengikuti ujian ABRSM gitar, Pak Iwan mengatakan bahwa aku sudah layak untuk menjadi guru gitar. Selain cerdas, aku punya kemampuan yang jarang dimiliki oleh orang lain yaitu membaca cepat. Di ABRSM, ujian yang paling sulit adalah Sight Reading. Di ujian itu, kau akan diberikan selembar not yang sama sekali belum pernah kau lihat, namun kau hanya diberikan waktu 30 detik untuk membacanya. Aku punya kelebihan itu. Mereka yang sekolah di sekolah musik pun belum tentu memilikinya, Pak Iwan berkata demikian.
Awalnya aku sempat tergiur dengan pujian itu. Namun, ketika aku melihat ke belakang. Ketika aku melihat bagaimana sulitnya berjuang mempelajari sesuatu yang suka, aku mengurungkan niat itu. Aku tidak mau dibayar saat mengajar musik. Sudah kuputuskan untuk mencari jalan lain, jalan mencintai gitar dengan menciptakan caraku sendiri.
Ketika kau mencintai sesuatu, kau akan penasaran bagaimana ia bisa tercipta. Aku mengatakan itu pada Pak Iwan dan berniat untuk mempelajari cara membuat gitar. Dengan uang empat juta, aku membeli bahan-bahan pembuatnya. Bahan-bahan yang terbaik kubeli tanpa memikirkan uang yang pas-pasan. Belum lagi, alat-alat profesional. Jika boleh digabungkan, mungkin modal yang dikeluarkan cukup untuk membeli gitar buatan Eropa.
***
“Cecequ...” Aku mengirimkan pesan di WA. Ada keraguan untuk memulainya. Aku tidak percaya diri, satu-satunya orang yang akan menjawab jujur adalah Sheny. Selain itu, ini juga satu-satunya alasan aku berani mengirimkan pesan kepadanya. Aku malu jika harus mengirimkan pesan namun tanpa ada tujuan.
“Apa feb?” balasnya beberapa menit kemudian.
“Lu percaya nggak gw bisa bikin gitar?”
“Hah? Lu mau bikin gitar?”
“Iya, gw udah beli alat dan bahan-bahannya. Hampir lengkap. Tapi gw nggak percaya diri.”
“Apa yang buat lu nggak percaya diri?”
“Ada hal yang gak gw ngerti secara teknis, kaya gimana bracing kayu biar suaranya sesuai dengan yang kita inginkan. Gw tadinya pengen belajar di Jakarta atau Bandung. Cuma butuh waktu minimal tiga bulan. Gw kan kerja, Cecequ..”
“Lah, jadi piye?” logatnya kini berubah. Mungkin karena sudah banyak bergaul dengan teman-teman berbagai suku. “Emang kalo buat gitar itu ada kursusnya?”
“Ada. Shen, kalo lu bilang percaya. Itu udah cukup kok.”
“Iya, aku percaya padamu Dedequ :* Kamu pasti bisa, you’re awesome. Semoga nanti gw bisa liat hasil karya luu.”
“I'm not awesome. Just ordinary. Semoga ya.”
“Extra ordinary-lah. Iyaaa! Aku tunggu hasil karyamu.”
Energi lain tiba-tiba merekah dalam diriku. Ibarat cakra yang mengalir ke seluruh penjuru tubuh. Di saat terpuruk, dia selalu berhasil memberikan energi itu.