Pukul 07.44 Linka mengirimkan pesan WA. "Sheny udah pergi."
Aku tengah berdiri di depan kelas. Memegang spidol dan hendak memberikan materi IPS kelas 4. Terduduk aku di kursi. Membaca pesan sederhana itu berulang-ulang. Aku takut salah membacanya. Aku takut kalau salah membaca, pesan tak tersampaikan dengan baik. Aku mengejanya pelan-pelan, merangkai suku kata menjadi kata dan kalimat yang menyesakkan.
Akhirnya, sungai di mata ini tumpah sejadi-jadinya. Lutut terasa lemas. Aku memegangi kedua lutut dan mencengkramnya kuat-kuat.
Suara tangisan terdengar memenuhi ruangan kelas. Isak beradu dengan sesak. Beberapa pasang mata anak-anak menatap heran. Gurunya yang tegas akhirnya bisa menangis karena melihat pesan di hp. Mereka tidak tahu, gurunya ini sedang kehilangan seseorang. Gurunya ini harus merelakan kepergian seseorang yang setiap malam disebutnya di dalam doa supaya orang itu baik-baik saja.
Orang itu pergi. Sheny pergi untuk selamanya. Aku benci kata pergi yang berakhir selamanya. Bisakah kepergian itu ditunda sebentar saja? Terlalu banyak gengsi yang memuakkan sehingga aku begitu menyesal jika harus merelakan kepergiannya. Tidakkah satu kesempatan itu tak berarti apa-apa untukMu, Tuhan? Kau tidak memberikannya. Kau membawa Sheny yang lapang, sementara aku, umatMu yang lain mengemis kesempatan di tengah kelaparan harapan.
***
Sheny kembali ke Lampung dengan peti yang menjadi tempat tidur terakhirnya. Kepergiannya menyisakan lubang besar di hidupku. Aku mirip seperti orang gila yang sering marah-marah. Apa guna berdoa setiap malam kepada Tuhan agar Ia menjaganya? Apa guna percaya mujizat kalau yang kuperoleh pada akhirnya adalah kehilangan? Apa gunanya ibadah setiap minggu kalau yang harus kulakukan adalah merelakan satu-satunya teman yang paling mengerti pergi lebih dulu?
Aku tak bisa terima. Ia yang selalu pasang badan, ia yang selalu pengertian, ia yang selalu ceria, harusnya aku yang pergi lebih dulu. Harusnya aku. Aku bukanlah orang yang bisa punya banyak teman. Kalau aku yang pergi, setidaknya ia hanya kehilangan satu teman. Kini, aku kehilangan separuh diriku. Sekolah Kotak Sabun kehilangan alumninya yang terkenal ramah kepada siapa saja.
Alumni Kotak Sabun akhirnya bertemu kembali. Kami duduk dihadapkan dengan sepiring kacang, tumpukan gelas-gelas tripanca, dan kue pasar. Di meja persegi panjang berwarna putih, kami terbagi menjadi dua kelompok. Kursi panjang itu sanggup menampung kami hingga berdelapan.
Mata yang sembab, kantung mata yang mengembang, rambut yang terurai panjang; wajah yang sama ditampilkan oleh teman-teman dekat Sheny. Kecuali aku, hanya aku yang bisa tersenyum dan tertawa di rumah duka ini.
“Cuma ada dua hal yang mempertemukan kita, sukacita dan dukacita,” ucap Linka dengan mata bengkaknya.
Aku tak menjawab apa-apa. Tawa dan senyumku adalah selaput tipis yang siap robek sebentar lagi. Aku membentengi dan menahan aliran sungai yang siap membasahi dan membanjiri diriku sendiri. Sekuat tenaga, aku merekatkan selaput itu dengan seriang mungkin di rumah duka ini.
“Feb, mau doa nggak?” ajak Rika. Ia, Selvi, dan dua teman kuliah mereka bangkit berdiri menuju peti mati berwarna putih itu.
“Nggak.” Aku menolak dengan tegas.
Aku mengalihkan diri dengan mengobrol pada siapa saja sambil menunggu mereka duduk kembali. Ada orang tua yang menunjukkan foto terakhir Sheny pada kami yang tengah berkumpul. Aku membuang muka. Tak mau melihat kondisinya. Aku akan mengenangnya sebagai orang yang tetap dengan kondisi fisik yang baik.