Sari

Syarifah Suharlan
Chapter #1

Libur Kuliah

Libur Kuliah

 

           Candi Jiwa Blandongan yang terletak di Karawang itu telah ada di hadapan mata, ekspedisi mengunjungi situs ini selepas ujian kuliah semester tiga sungguh sederhana. Dengan bersilaturahim ke rumah seorang sahabat, teman sekelas di kampus juga, dan melepaskan diri dari penat fikiran selama berminggu-minggu didera tugas-tugas kuliah dan ujian akhir semester 3 yang memabukkan mata dan otak dalam berfikir membuat daya nalar kami jadi ikut fakir.

Dan ketika ide terlontar begitu saja saat kami membuat foto-foto selfie di tangga kampus, usai ujian akhir, respon spontan mengiyakan ide itu terlaksana tak buang tempo lama, dengan menetapkan hari dan tanggal yang tidak berjauhan dari usainya ujian dan mengawali libur semester kami, maka kami memutuskan untuk memilih transportasi umum menuju karawang.

Kami pergi dengan sukacita, tiba saat menjelang siang, rencana kami adalah seharian berkeliling mengunjungi tempat-tempat peninggalan lama di kota Karawang ini, setelah puas kami akan bermalam di rumah sahabat kami.

Candi Jiwa Blandongan ini menjadi tempat pertama yang akan kami datangi, saat ini kami sudah berada di area candi ini, ada papan berukuran sedang menyambut kami dengan tulisan “….sedang dalam perbaikan dan pemugaran candi...,”. Kami berjalan menuju loket kecil dan kurang terawat untuk menanyakan bagaimana peraturan mengunjungi situs ini bagi kami yang ingin melihat candi itu dari dekat.

Dengan menulis buku tamu yang lusuh dan memberi iuran semampu yang kita berikan maka penunggu loket yang sekaligus sebagai pekerja pemugaran candi, (terlihat dari baju kerja tukang bangunan yang terlumuri tanah dan topi helm pengaman serta alat cangkul yang ada di tangan kirinya) membuatku yakin dia merangkap tugas siang ini sebagai pekerja pemugaran candi dan penunggu loket.

Karena kunjungan kami pada hari biasa dan nyaris situs ini sunyi dari informasi kunjungan wisatawan maka loket itu cenderung sepi dari antrian pengunjung. Aku melirik buku tamu itu ada beberapa tulisan kunjungan dari dua stasiun tv swasta yang memiliki program acara mistik dan program acara seperti jangan melupakan sejarah, tertera disitu, namun tanggalnya luput aku lihat. Maka dengan semangat orang-orangan sawah yang kepanasan kami berenam berjalan saling bersisian dua-dua di sebuah pematang sawah yang telah dibuatkan jalan setapak beraspal yang bisa dilalui oleh sepeda motor.

Aku berjalan bersama Zahid, Tiwi dan Levi, serta Eti dengan Magfur. Kami berjalan lambat sambil menikmati hamparan persawahan di kiri kanan kami, mataku sangat teduh melihat hijaunya persawahan padi yang sangat jarang kudapati di kota Jakarta.

Ada beberapa ekor bebek yang berjalan tertib berantrian di pematang tanah liat persawahan dengan bunyi meleter yang berisik, namun keberisikan itu semacam irama merdu bagi telinga dikarenakan hampir tiap hari hanya mendengar polusi suara kendaraan bermotor di tempat tinggal kami yang ada.

Perjalanan kaki yang diguyur penuh dengan sinar terik matahari siang jam satu ini begitu mendera kulit muka dan kepalaku. Namun aku melihat keriangan kawan-kawanku semua yang diselingi dengan canda-canda kecil perihal dosen-dosen kami dan kalimat-kalimat lucu yang pernah terlontarkan oleh kawan-kawan pemberontak kami yang berdebat pendapat dengan dosen-dosen ahli membuat suasana menempuh perjalanan 300 meter dengan perasaan menjadi hangat di hati.

Terlihat beberapa meter sebelum kami sampai, candi yang pertama yang telah dipagari oleh pagar besi setinggi satu meter yang mengelilinginya dengan bentuk persegi. Tak ada stupa candi di atasnya dan tak ada pelindung cahaya terik matahari yang menyengat muka dan kepala membuat kami menjadi terdiam beberapa saat.

Zahid sahabat kami yang memang asli dari karawang meminta kami berteduh di sebuah pohon di dalam pelataran candi. Kami berjalan agak malas karena melihat candi yang seperti kurang gagah tanpa stupa dan karena kami tidak bisa lebih mendekat ke candi karena ada jarak sekitar 2 meter di dasar candi yang tergenang air. Dan bodohnya kami tidak membawa persiapan air mineral sebotol pun hingga aku merasakan tubuhku agak sempoyongan sedikit.

           “Sari...sini berteduh...” Tiwi berteriak demi melihat aku sudah gontai melangkah dan ragu mendekati sebuah pohon rimbun yang ada di sudut pelataran candi itu.

           “Tiwi sih belum beli nasi bungkus..., air juga gak dipersiapkan, si Sari jadi mau pingsan ...lihat tuh mukanya sudah merah kepanggang sinar matahari,” omel Eti

           “Ih enak saja siapa tadi yang minta langsung menuju kesini dan tidak mau membeli makanan dulu saat kita ada di terminal, agar bisa mengunjungi beberapa tempat sebelum malam,” gerutu Tiwi dengan gaya bertanya yang menukik tajam.

           “Yaa sudah..sudah..ini adalah keputusan bersama, ayo Sar..tahan sedikit kita istirahat sebentar lalu mengunjungi candi yang satunya lagi di sebelah sana itu setelah itu mencari warung makan untuk minum dan makan siang kita,” tukas Levi menimpali gerutuan Tiwi.

           Langkahku di tingkahi oleh Magfur, keringatku bercucuran, Zahid memimpin di depan mengarah jalan 100 meter lagi melalui jalan setapak dan menuju Candi Blandongan, wilayah candi ditutupi pagar seng hijau, suara dua ekor kambing mengiringi arah langkah kami masuk. Di sebelah kiri terlihat rumah posko bangunan semi permanen tempat para pekerja berteduh dan menyimpan peralatan penggalian. Terlihat dua motor terparkir di depan posko bangunan itu, dengan dua orang pekerja yang sedang merokok santai. Mengarah ke kiri lagi dari posko bangunan ada seorang pemotong rumput yang sedang menyelesaikan tugasnya tanpa penutup kepala dengan bunyi mesin pemotong yang terdengar lamat-lamat dari kejauhan. Kami berjalan lurus, di depan posko tukang bangunan ada kubangan air seperti untuk tempat minum kambing yang digembalakan.

Lihat selengkapnya