Sari

Syarifah Suharlan
Chapter #3

Istana Mozine

ISTANA MOZINE

 

Ruangan kamar ini sangat teduh, sejuk dengan bunyi air gemiricik kecil dari luar yang terdengar halus dari dalam ruangan istana. Tubuhku masih berbaring, terbaring disebuah bangku kayu panjang yang berada di salah satu kamar di Istana Pangeran Mozine, kepalaku seperti memakai turban, pening masih kurasakan dan saat aku membuka kelopak mataku yang kulihat pertama kali adalah wajah tampan dengan air muka teduh dan lembut itu tersenyum manis padaku. Aku merasa berada di surga. Hatiku berdesir serasa ada lompatan rasa yang aneh ketika ditatap oleh Pangeran Mozine.

“Bangun dan duduklah, minum larutan obat yang telah diseduh oleh tabibku, agar luka di dahi kepalamu bisa kering dan sembuh”, kata Pangeran Mozine.

Aku menerima sebuah mangkuk kecil hangat dari tangan Pangeran Mozine, kulihat larutan itu pekat, pasti rasanya pahit, lalu kupandangi wajah Pangeran Mozine dengan air muka ku yang keberatan untuk meminum larutan itu.

“Minumlah...agar kamu cepat sembuh”, pintanya.

Demi mendengar suaranya yang lembut dan terasa menyenangkan di telingaku, kudekatkan bibirku pada bibir mangkuk kecil larutan obat itu, aku tahu obat ini pasti pahit maka untuk menambah rasa manis pada larutan obat itu aku memandangi wajahnya yang tampan itu lalu kutenggak dengan sekali teguk...aku terbatuk, pahit di lidah dan pangkal tenggorokan menyengat, aku tak mau muntah di hadapan Pangeran Mozine yang ganteng dan manis itu.

Dengan berpura-pura menepuk-nepuk dadaku sendiri, ku berharap rasa pahit di mulutku cepat lenyap.

“Setelah tubuhmu mengeluarkan keringat, datanglah ke meja ruanganku, aku mau berbicara penting dengan mu”, ucapnya.

“Pangeran Mozine....”, suaraku lirih memanggil namanya.

Pangeran Mozine menoleh berwibawa, wajah dari arah sampingnya juga manis terlihat, jantungku mulai berdebar cepat, sepertinya kentara sekali aku grogi dihadapannya. Setelah Pangeran Mozine menoleh dan berdiri tegap dihadapanku yang duduk lemah di bangku panjangnya, aku mulai bertanya...

“Pangeran Mozine...dimanakah teman-temanku...?”, tanyaku

“Ehm..itu..mereka ada di penjara istana ini,” jawabnya datar dan lembut.

“Pen..penjara...”, suaraku lirih menjawab dengan menggigil.

“Kenapa temanku berada di dalam penjara Pangeran...? mereka tidak salah apa-apa, sama sepertiku, aku pun tidak tahu apa-apa bisa terdampar di lingkungan istana ini, di wilayah kekuasaan Pangeran...”, ujarku melanjutkan.

“Untuk itulah kamu saya rawat dan diberi obat di ruangan kamarku ini, agar kamu cepat pulih dan bisa menjawab segala pertanyaanku dengan berbincang-bincang nanti setelah larutan obat yang kamu minum itu bereaksi pada tubuhmu, berbaringlah dan tidurlah bila nanti badanmu sudah mengeluarkan keringat itu tandanya kamu akan pulih dan luka di dahimu akan mengering”, urainya menjelaskan.

Lalu dengan langkah pasti Pangeran Mozine melangkah keluar ruangan dan dua dayangnya masuk menungguiku yang masih keheranan dengan kejadian ini memintaku berganti baju sebelum aku beristirahat lagi. Aku setuju.

Nyenyak sekali aku tertidur di salah satu ruangan kamar Pangeran Mozine, dua dayang masih mengipasi dalam pembaringanku. Walau sedang dikipasi aku merasakan tubuhku mengeluarkan banyak keringat. Kubuka dua kelopak mataku dengan malas, rasanya aku ingin tetap berbaring di salah satu ruangan kamar Pangeran Mozine yang tampan dan lembut hati itu, karena dengan tetap berbaring di salah satu ruangan istananya serasa dia pun berada didekatku.

Namun dua dayang itu serta merta memberhentikan kipasan-kipasannya ke arah tubuhku dan aku menjadi bertambah kegerahan. Sepertinya ini yang dibilang oleh Pangeran Mozine tadi bahwa setelah aku meminum larutan obat dari tabibnya aku akan tertidur pulas dan akan mengeluarkan banyak keringat, tanda demam dan luka di dahiku akan sembuh.

Aku melangkah menuju ruang pertemuan istana ditemani oleh dua dayang. Sebelumnya aku sudah dimandikan oleh dua dayang itu dan diberi baju khas budaya mereka. Wangi sekali tubuhku karena saat mandi berendam tadi banyak ditaburi bunga-bunga aroma wangi yang digosokkan ke tubuhku. Kami berjalan beriringan tampak kerajinan gerabah-gerabah yang di pajang di ruang-ruang istana, tak lama langkah kami terhenti. Pintu terbuka aku dipersilahkan masuk oleh dayang-dayang itu dan segera pintu di tutup setelah aku masuk.

Meja panjang seperti meja ruang rapat ada di dalam ruangan ini, yang membuatku terkaget adalah duduk di kursi-kursi meja panjang itu dua prajurit dan seorang kawanku....Zahid...!

“Zahid bagaimana keadaanmu. Bagaimana kawan-kawan yang lain?”, semburku bertanya padanya sambil mendekat ke arahnya seraya memperhatikan perubahan busana yang dia kenakan yang bercita rasa tradisional.

Belum sempat Zahid menjawab seorang prajurit yang duduk dekat Zahid menyelaku,

“Silahkan duduk di tempatmu, kami sedang menunggu Pangeran Mozine untuk membicarakan masalah ini, mengapa kalian tiba-tiba mendadak sontak tampak di wilayah kami dengan membawa batu zamrud hijau itu...apakah kalian mata-mata atau utusan dari kerajaan lain?”, semburnya padaku.

Lihat selengkapnya