Sari

Syarifah Suharlan
Chapter #5

Wilayah Timur Yang Misteri

WILAYAH TIMUR YANG MISTERI

 

           Kekhawatiranku akan berkuda sendiri sirna, masih dalam keremangan malam aku berada di dalam kereta kuda ketiga bersama 3 dayang, kereta kuda yang hanya dapat memuat empat orang saja dan bagasi untuk barang-barang perlengkapan di letakkan di atas kereta kuda. Bunyi derit roda kereta sedikit terdengar pilu dihatiku, aku duduk meringkuk di pojok kanan sambil mencoba mengusir kegelisahan yang sedang berkecamuk mengambil peran di ruang imajinasiku. Semua wajah kawan-kawanku melintas-lintas bagai siluet pohon yang berlari, lorong candi, perpindahan waktu, batu zamrud hijau, kini bagai tampilan gambar yang berputar-berputar terfikirkan oleh kepalaku, aku mengernyit dahi, kurasakan bekas luka yang telah mengelupas di dahi kepalaku sedikit gatal dan sakit, saat kuraba bekas luka dikepalaku langsung aku teringat pada Pangeran Mozine yang merawat lukaku hingga cepat pulih, dengan kelembutannya dapat kurasakan di relung hatiku yang dalam, wajahnya, postur tubuhnya, senyumnya dan yang utama adalah kelembutan hatinya dalam bersikap wibawa dan bertutur kata, aku sungguh terpesona padanya, bisakah aku mengucapkan kata bahwa aku suka padanya, atau bisakah Pangeran Mozine kubawa di masaku nanti bila misteri batu zamrud hijau itu terpecahkan oleh kami, aku sedikit tersenyum, khayalanku dapat bersanding di dunia nyata bersama Pangeran Mozine sedikit mengusir kejenuhanku pada perjalanan tengah malam yang masih menyimpan kabut tanda tanya bagiku, tak lama mataku terpejam, aku tertidur kembali dalam kereta kuda menuju tujuan yang masih samar dalam fikiran.

           Hidungku menghirup wangi masakan kuah yang menguar-nguarkan kepulan asap rempah yang segar, kubuka mataku terlihat cahaya pagi sudah menyinari kereta kuda kami yang sekarang telah berhenti, dan yang tertangkap dalam perhatianku yang utama adalah para dayang yang berada dalam kereta kuda kami sedang sarapan pagi dengan nasi di wadah tembikar akar rotan dan semangkuk sayur sup di tangan mereka, mereka sangat bersemangat saat menyantap makanannya, pipi mereka terlihat memerah karena efek kuah sup yang mereka hirup terasa pedas dan segar. Air liurku seperi akan menetes, ingin merasakan juga apa yang mereka makan dengan rintihan perutku yang sudah terasa keroncongan. Namun belum sempat aku bicara untuk meminta jatah sarapan pagiku, seseorang mengetuk pintu kereta kuda kami, dayang Yunatzi membuka pintu, Zhao Rugua menjengukkan kepala,

           “Sari...kamu diminta Pangeran Mozine untuk sarapan pagi di kereta kudanya, cepatlah turun dan bergegaslah, Pangeran Mozine ingin menyantap sarapan paginya dengan kondisi makanan masih hangat”, ucap Zhao Rugua.

           Sesegera mungkin aku turun dan berjalan cepat mengikuti Zhao Rugua di belakang langkahnya, hatiku berdetak keras kembali, menemaninya makan pagi..? sungguh perkara yang beresensi etika, patutkah dan bisakah aku menemaninya sarapan dalam kondisi jiwaku yang masih berkecamuk ragu dalam perjalanan ekspedisi ini?

           Dengan kesopanannya yang menyambut ku dengan memberi sebelah tangannya dan ku sambut dengan jabatan tangan yang hangat agar memudahkanku naik ke atas kereta kudanya membuatku berdecak kembali dalam hati, keterpesonaanku padanya bertambah lagi...duh gusti...mengapa ada malaikat indah dihadapanku kini, jangan biarkan diri ini terpelanting-pelanting jatuh hati, ini bukan padananku, dia seorang pangeran sedangkan aku rakyat jelata yang kesasar di dunia masa lampau yang belum mengenal internet dunia maya....!

           Pangeran Mozine duduk dengan tenang, aku dimintanya duduk berhadap-hadapan, seorang koki meletakkan meja kecil diantara kami dan menaruh diatasnya sebuah baki dengan menu yang sama tadi dimakan oleh para dayang, namun ada tambahan lain yaitu potongan daging kotak-kotak dadu kecil dengan siraman minyak kecap yang lumer diatasnya. Aku meneguk air ludahku, antara semangat lapar dan malu aku menunggu dipersilahkan.

           Pangeran Mozine memulai terlebih dahulu, dia mengambil secukupnya hidangan makanan lalu mempersilahkan aku untuk mengambilnya, aku hanya mengikuti saja, mengikuti makanan apa yang diambil dan mengikuti cara makan dan mengunyahnya dengan perlahan, sepertinya aku mengalami kenyang duluan. Pertama terasa sudah kenyang karena melihat wajahnya, kedua karena memang hidangan sarapan ini rasanya sungguh nikmat luar biasa.

           Sarapan pun selesai, hidangan baki dirapikan, aku pamit untuk kembali ke kereta kudaku namun tidak diperbolehkan.

           “Duduklah di sampingku, aku akan membicarakan padamu perihal rencana-rencana ekspedisi ini dan rancangan-rancangan perjalanan agar kita selamat saat kita pulang kembali,” jelasnya padaku.

           Aku terdiam, perlahan-lahan rombongan kereta kuda kami mulai beranjak, kereta kuda pertama ditempati Panglima Zhao Rugua dan anak buahnya, kereta kuda kedua, tentu saja kereta kuda Pangeran Mozine, kereta kuda ketiga adalah semestinya kereta kudaku dan para dayang, kereta kuda keempat dan kereta kuda kelima adalah kereta kuda logistik dan perlengkapan-perlengkapan kunjungan antar kerajaan dan kereta kuda keenam dinaiki oleh Zhufan Zhi dan beberapa tentaranya, lalu di depan dan dibelakang barisan ekspedisi ini adalah pasukan berkuda dari prajurit pedang dan prajurit pemanah yang siap berjaga mengamankan segala sesuatu dalam rombongan ekspedisi ini, sungguh ini pengalaman yang luar biasa bagiku.

           Kucoba duduk rileks di samping Pangeran Mozine, tapi badanku jadi tegak kaku, dan wajahku lurus ke depan saja, sungguh payah sikapku ini. Pangeran Mozine duduk santai dengan tangan kanannya yang merogoh sebuah peta dari bahan perkamen dan membentangkannya di meja kecil tempat bekas baki makanan di taruh tadi. Aku masih duduk kaku dengan wajah lurus, setiap gerakan tubuhnya dan helaan nafasnya dapat kurasakan dengan perasaan yang membuncah, ada ketenangan dan kepercayaan diri yang luar biasa di dalam pembawaan dirinya, matanya menyorot tajam tapi teduh, mungkin itu tanda lelaki yang ditempa dengan tatakrama istana namun berpengalaman dalam diplomasi dan strategi kehidupan. Apakah dia sudah memiliki kekasih? ataukah dia sudah menjadi seorang suami? Atau mungkin dia hanya seorang pangeran yang sedang mencari pasangan? Keluguan lamunanku ini menambah parah situasiku saat bersama pangeran di dalam kereta kuda versi abad lampau ini.

           “Sari...Sari...!kamu melamun...?” tanyanya

           Aku memberanikan diri sedikit menoleh kearah wajahnya,...duh gusti...menatap wajahnya dengan kedekatan seperti ini membuat mataku bertambah manja akan keindahan, sepertinya saat ini dia sudah tahu, kalau aku kikuk didekatnya karena aku suka padanya, aku menatapnya tanpa kedip dengan kepolosan kekagumanku pada wajahnya, dia tersenyum kecil, separuh hatiku melonjak senang, dia menatap peta, hatiku berlompat-lompatan, dia menoleh lagi kearahku, aku gemetaran...dan....

           “Sari...saya ingin berbincang denganmu saat ini untuk membicarakan secara rinci rencana kita nanti bila sudah tiba di tempat tujuan”, ujarnya dengan sikap yang masih terjaga wibawa seorang pangeran.

           Hatiku mencelos dengan sedikit kecewa...yah tentu saja, keberadaanku disini hanya semata-mata membantu urusan kerajaannya, urusan ekspedisinya, tak akan ada campur tangan masalah romansa cinta...harapanku terlampau membumbung ke udara.

           “Ya..Pangeran...saya akan mendengarkan penjelasan pangeran..”, jawabku pelan.

           “Berdasarkan manuskrip yang kami miliki yang saya baca dan pelajari, wilayah kekuasaan berdasarkan naskah primer Bujangga Manik, yang menceritakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu, batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali"), dan Ci Serayu. Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan wilayah kekuasaan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang saat ini sedang berjaya yang bernama, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi, menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, dia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, sedangkan yang kedua, Sobakancana, karena saya sebagai Pangeran dari kerajaan timur jauh yang diutus oleh ayah saya dalam rangka memperkuat hubungan antara kerajaan-kerajaan yang telah bekerjasama secara baik dalam bidang seni budaya dan benda-benda seni yang dihasilkan dari ketrampilan adat kerajaan kami masing-masing, kedatangan saya dalam status bujangan ini tidak ingin memiliki salah arti terhadap Dewi Manasih putri sulung dari Raja Tarumanegara, maksudnya saya tidak ingin ada perjodohan antara saya dengan putri sulungnya itu, maka dari itu saya membawa kamu dalam ekspedisi ke wilayah timur ini untuk menampakkan bahwa saya, pangeran dari kerajaan timur jauh telah ada kekasih pendamping, dan tidak mau memiliki persaingan dengan seorang pemuda, pangeran kerajaan di wilayah barat sini yang menaruh hati pada Dewi Manasih yang bernama Pangeran Tarusbawa”, urainya ringan.

           “Apa...! apakah saya...tidak salah dengar Pangeran....bahwa..bahwa ...saya akan dijadikan kekasih pendamping ....dari pangeran...?”, tanyaku dengan rona malu namun ingin tahu.

           “Iya...hanya pura-pura saja, hanya sandiwara saja, agar kedatangan saya ke wilayah timur dari kerajaan sunda ini tidak dikeruhkan dengan permasalahan percintaan dan perjodohan, pertama karena saya tidak mau, kedua karena menurut informasi dari prajurit saya, Pangeran Tarusbawa akan melukai atau membuat perhitungan perang bila ada pangeran lain yang menaruh hati pada putri Dewi Manasih, itu yang saya hindari...”. Jelasnya penuh argumen matang.

Aku diam, sedih, hanya pura-pura hanya sandiwara, kalimat itu cukup melukai perasaanku saat ini.

“Kenapa kamu diam saja? Kamu tidak mau membantu saya?”, tanyanya lagi.

Lihat selengkapnya