Sari

Syarifah Suharlan
Chapter #9

Menuju Lembah Danasarata

MENUJU LEMBAH DANASARATA

           

Jendral Bizane dan Pangeran Mozine tampak berkutat dengan bulu pena menulis dan merancang jalan menuju lembah Danasarata berikut mengurai pasukan kerajaan ekspedisi Pangeran Mozine menjadi dua, rombongan pertama yaitu rombongan kereta kuda dengan separuh pasukan menuju pantai dan akan dijemput oleh perahu-perahu kecil dari kapal layar kerajaan Mozine yang telah siap bersauh untuk membawa mereka pulang, dan rombongan kedua adalah rombongan pasukan berkuda yang akan menuju lembah Danasarata dan mengawal Pangeran Mozine melihat dan melepas kami dalam keunikan energi batu zamrud hijau yang akan membawa kami kembali bila itu berhasil sesudah itu rombongan Pangeran Mozine akan menyusul pasukannya ke kapalnya yang sedang bersauh menunggunya.

           Matahari setinggi galah telah datang, kami semua berpamitan kepada permaisuri raja,  memberi hormat kepada Raja Tarumanegara Linggawarman, kami meninggalkan istana dengan tatapan Pangeran Tarusbawa yang juga berpamitan untuk kembali ke wilayah kerajaannya, tampak ada kilatan rencana di matanya saat melepas kami pergi meninggalkan gerbang istana.

           Aku dan teman-teman masih di kereta kuda, kereta yang sama saat separuh perjalanan menuju lembah Danasarata kami lewati, menjelang sore disebuah persimpangan jalan yang tertera di peta rombongan mulai terbagi dua, aku dan tema-teman yang mulanya di kereta kuda kini harus berpindah ke tunggangan kuda. Satu kuda dua orang, Pangeran Mozine dan Aku, Jendral Bizane dan Zahid, Zhao Rugua dengan Levi, Zhufan Zhi dengan Magfur, Benine dengan Eti dan Shifune dengan Tiwi.

Rombongan kereta kuda berbelok jalan ke kanan menuju pantai, kami berbelok kekiri menuju lembah Danasarata. Saat Matahari tenggelam diufuk barat kami tiba di lembah Danasarata dan membuat api unggun untuk kami berkumpul dan menghangatkan badan menunggu terang bulan purnama cahaya penuh.

           Kelelahan dalam berkuda membuat kami semua istirahat dengan tertidur lelap, di atas tanah lembah yang ditutupi anyaman tembikar yang dibawa disetiap kuda yang kami naiki, Benine dan Shifune yang bertugas menjaga tidur kami dengan mengisi kegiatan menjerang air dan membakar singkong, jagung dan ubi.

           Shifune membuka peta dan perkamen kembali, dia ingin mempelajari kembali isi tulisan dan perintah yang ada di lembar perkamen manuskrip ini, ada yang kurang dari lembah ini untuk menaruh batu zamrud hijau agar dapat terkena sinar bulan cahaya purnama penuh untuk membuatnya berenergi menyala.

           Di bolak-baliknya perkamen itu namun tak ada gambar dan keterangan lagi, bagaimana proses kembali aktif bila batu zamrud hijau itu tak dapat penuh cahaya bulan purnama, Shifune berfikir sangat keras, dilihatnya kembali keempat perkamen yang terpisah, Resi kerajaan menyalinnya dengan sangat rapi dan cermat, tulisan, simbol dan gambar-gambar asesori pada keempat perkamen itu sangat sesuai dengan aslinya, memang resi kerajaan termasuk orang yang berdedikasi dalam bidangnya. Karena sudah agak buntu, diletakkan kertas itu di tanah, Benine melihat tingkah laku Shifune dengan tersenyum.

           “Mengapa kamu tersenyum melihat aku sudah kehilangan ide dan buntu dalam berfikir?”, ucapnya mendelik pada Benine.

           “Kertas perkamen manuskrip itu cukup lucu bila dilihat dari jauh, dari jarak jauh kalimat-kalimat dan simbol yang menyertainya seperti ada gambar di setiap kertas perkamen itu”, Benine memberi alasan.

           Shifune memisahkan keempat kertas perkamen itu lalu menyatukan dengan pola bersisian, kertas perkamen pertama dikiri, lalu dikanan kertas perkamen kedua, yang ketiga dibawah dari kertas perkamen pertama dan yang keempat dibawah dari kertas perkamen yang diletakkan dikanan, maka ...terbentuklah sebuah lembar gambar yang berbeda gambar mencolok dengan gambar sebuah batu hitam datar dan diatas batu hitam itu terlihat batu zamrud hijau yang sedang bersinar di tempa cahaya penuh bulan purnama, dari keempat kertas yang disandingkan itu tertera kalimat pada pinggir-pinggir kertas yang disatukan kata akhir dan kata awal dari sambungan kertas itu berbunyi, saat pasang laut cahaya purnama penuh akan mengangkat batu itu ke masa yang jauh...Shifune berteriak kegirangan, teriak kegirangannya membuat kami semua terbangun.

           “Pangeran Mozine...Pangeran Mozine... bangunlah dari kertas perkamen ini saya sudah mendapatkan penjelasannya, kita harus naik sedikit menuju bebatuan hitam itu, lihat kesana...batu hitam yang paling besar dan mendatar diatasnya itu, nah disitulah kita harus meletakkan batu zamrud hijau sebesar butiran buah kelapa yang dahulu di bawa Zahid untuk mendapat cahaya penuh bulan purnama, kita harus segera memulai ritual ini, pasang laut akan segera tiba”, ucap Shifune bersemangat.

           Dengan menambatkan tali kuda-kuda kami di batang pohon-pohon kelapa pepohonan, kami memulai pendakian. Obor-obor kecil kami pegang satu-satu, Aku bersama teman-temanku berjalan berdekat-dekatan, kami tak ingin ada yang tertinggal, perasaan kami sangat campur aduk tak karuan, terutama Zahid yang masih tak percaya bahwa dia adalah masih keturunan yang kesekian dari Raja Tarumanegara.

           Pangeran Mozine berusaha mendekat dan berjalan bersisian dengan ku, teman-temanku mulai mengikuti Jendral Bizane mendaki batu demi batu yang berukuran sedang menuju batu besar satu demi satu dengan saling bahu membahu, Shifune mulai menaiki satu buah batu besar hitam yang besar dan datar dengan sebuah tengah yang berdiameter cekungan sebutir kelapa, kami mengikutinya hingga sampai naik keatas dan melihat gerak yang dilakukannya kemudian. Shifune membuka tas anyamannya dan mengambil batu zamrud hijau dan meletakkannya pada cekungan itu...pas...kami semua berdecak kagum dan heran.

Bulan sudah terlihat namun belum tinggi, Jendral Bizane menyarankan kami duduk melingkari batu itu, aku dan teman-teman duduk berdekatan dan Zahid duduk di tengah, Shifune, Jendral Bizane dan Benine duduk berdekatan juga antara mereka dan berhadapan dengan kami. Pangeran Mozine masih berdiri dan menatapku dengan lekat, obor-obor kami disatukan di sebuah dataran batu yang dekat dengan Shifune agar cahaya obor dapat menerangi kertas-kertas perkamen yang masih dia perhatikan dengan cermat.

           “Sari bisakah kita berbicara sebentar?”, pintanya.

           Aku berdiri dan menghampiri Pangeran Mozine yang telah berdiri menatap laut tampak terlihat kapal layarnya yang besar beberapa ratus meter dari bibir pantai. Cahaya bulan mulai menyinari seperempat dari dari batu zamrud hijau yang ada dicekungan batu besar.

           Pangeran Mozine wajahnya nampak serius seperti memikirkan sesuatu yang dalam, aku mencoba melepaskan sebuah kalimat pertanyaan?

           “Pangeran...bagaimana bila ritual ini tidak berhasil, apa yang harus kami kerjakan dimasa ini?”, tanyaku.

           Pangeran diam

           “Dan bila ritual ini berhasil...kita akan terpisah jauh”, ucap tanyaku lagi.

           Pangeran berbalik melihatku.

           “Itulah yang sedang berkecamuk dalam pikiran saya Sari, bila ritual ini tidak berhasil, maukah kau ikut bersamaku ke kerajaanku, aku ingin memperkenalkanmu pada ayahku dan melihatnya bahagia”, ucapnya dalam.

           Aku kini yang terdiam.

           “Dan bila ritual ini berhasil...maafkan atas segala sikap dan ucapanku padamu, walau kita dekat dan mengenalku tak seberapa lama, namun kamu mampu membangkitkan segala harapanku akan sebuah arti seorang perempuan..”, ucapnya dengan mata terpejam.

           “Pangeran...aku yang paling akan bersedih jika terpisah jauh darimu, bisakah kau ikut bersama kami?”, tanyaku dalam kemustahilan yang hakiki.

Lihat selengkapnya