"Lini, lini!" teriak Emak dan Bapak bersahutan, disusul teriakan Kang Aguh.
"Ke luar! Ka luar kabeh!" lanjut Bapak sambil menyambar lampu senter dari atas lemari kayu. Kemudian, ia mematikan lampu minyak dan cempor. Mungkin tindakan itu untuk mencegah kebakaran kalau dibiarkan menyala.
"Runi, di mana Runi?" Terdengar suara Emak meneriakkan namaku.
Aku tak menjawab. Jangankan bersuara, berdiri pun aku tak mampu. Tubuhku mendadak lunglai, padahal aku tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya merasakan lantai beralaskan tikar mendong yang kududuki saat mengaji, bergoyang keras sekali. Tubuh pun seperti diombang-ambing.
Dalam keremangan dan kilatan lampu senter, Emak berhasil menarik lenganku untuk dibawa berlari ke halaman rumah. Lututku bergetar saat melangkah diseret Emak.
"Laa ilaahaillallah ... Laa ilaahaillallah!"
Gema zikir dan salawat berpadu bunyi kentongan yang dipukuli warga bertalu-talu. Belum lagi tangisan Arga adikku, dan anak-anak tetangga, menambah riuh kejadian di Malam Jumat itu.
Bapak memegang tangan Kang Aguh dan Arga, sedangkan Emak memeluk tubuh mungilku.
Gempa yang berlangsung beberapa menit itu berhenti. Kami pun serentak mengucap syukur. Namun, tak lama kemudian, tanah yang kami injak kembali bergetar, bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Jerit tangis serta teriakan, bersatu dengan suara zikir melangit. Pada saat itu, langit bercahaya oleh kilatan-kilatan seperti mau hujan, tetapi bersusulan sangat rapat. Gemuruhnya terdengar begitu dekat, menggelegar seperti guntur yang bersahutan. Dari arah barat daya, tampak kilatan yang disertai semburan serupa kembang api, keluar dari puncak gunung. Langit di atas kami berubah dipenuhi hiasan gumpalan-gumpalan mega seperti bara api. Tak lama kemudian, hujan pun turun dari awan tersebut. Namun, ada yang yang tak biasa. Bukan air yang tercurah dari langit, terapi kerikil dan pasir yang masih mengepul, bahkan tak jarang berupa bara api dan batu agak besar.
Dari pengeras suara masjid, terdengar pengumuman yang membuat kami semakin panik. Semua warga disuruh segera berkumpul di masjid, untuk bersiap-siap mengungsi.
Lututku semakin bergetar. Bapak buru-buru masuk rumah dibantu Kang Aguh, untuk membuntal pakaian, kantung berisi surat-surat penting, televisi dan radio. Hanya itulah harta kami yang paling berharga, dan layak diselamatkan.