SARJANA RUMAH TANGGA

Lail Arrubiya
Chapter #1

Harapan Gadis Desa

Mentari masih malu-malu untuk menghangatkan desa yang penduduknya sudah mulai beraktifitas di pagi ini. Mentari masih tertutup selaput awan di langit, berbalut udara dingin. Dari jauh kabut-kabut tipis masih terlihat, belum mau hilang karena hangat mentari belum muncul.

Satu dua petani dengan cangkul di bahunya berjalan gagah di pematang sawah yang licin setelah semalam desa ini diguyur hujan rintik yang awet sepanjang malam. Embun yang bertengger di tepi rumput di pematang sawah berjatuhan karena hentakan kaki Pak Tani.

Ibu-ibu di desa ini juga terlihat sibuk di ‘pancuran’ – toilet umum – yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, lantainya juga dari selongsong bambu, dengan air yang mengalir deras dan jernih, bersambung langsung dari mata air . Dibuat di atas empang atau ‘balong’ dalam bahasa sekitar. Pancuran tidak hanya digunakan untuk mandi, tapi juga mencuci baju dan cuci piring. Anak-anaknya sibuk bermain di tepian balong, melihat ikan-ikan besar yang mendekat karena sisa makanan dari piring-piring kotor. Tentu saja tak ada yang membuang sampah selain sisa makanan ke dalam balong, mereka cukup tahu diri sudah diberi fasilitas toilet gratis oleh pemilik balong.

Di antara kesibukan Pak Tani dan ibu-ibu sekitar, ada pula kesibukan anak sekolah yang harus berkejaran dengan waktu agar tak tertinggal angkutan pedesaan yang hanya lewat sekali.

Seorang gadis dengan seragam kotak-kotak dan rokk hitam sedikit berlari keluar dari rumahnya. Dia harus bergegas jika ingin kebagian tempat duduk di angkutan pedesaan. Sementara kedua adiknya masih asik dengan sarapan nasi goreng satu telur untuk berempat.

Ia tahu kalau dirinya sudah terlambat untuk dapat tempat duduk di angkutan pedesaan, tapi ia masih ingin berharap hari ini uang sakunya tak berkurang.

Rok panjang tak membuat larinya tersekat, ia sudah terbiasa. Enam tahun ini ia terbiasa dengan setelan seragam sekolah panjang dan jilbab yang menutup dada, itu peraturan sekolahnya. Beda sekali saat pertama kali ia datang ke desa ini. Saat itu ia duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar. Datang dengan setelan seragam pendek. Tapi sekolah mewajibkan siswinya berjilbab, meski rok mereka di bawah lutut tak menutup betis. Itu salah satu culture shock yang ia dapatkan saat pertama kali sekolah di sini. Katanya untuk belajar berjilbab. Entahlah, ia menurut saja saat itu. Tapi, buktinya nyata sekarang. Tanpa diperintah ia sudah tahu bahwa ia harus berpakaian menutup aurat.

Larinya semakin dipercepat saat melihat angkutan pedesaan berwarna kuning pucat dengan pintu yang berada di belakang, terhenti di pertigaan jalan. Menaikkan entah berapa penumpang.

Duh, Neng, tos pinuh,” kata kernet angkutan yang bertengger di pintu angkutan.

Ia memastikan bahwa memang sudah tak ada bangku yang tersisa.

Sangat yakin tak ada.

Tumpukan karung di ujung bangku memenuhi sebagian tempat di angkutan. Penumpang duduk berdempetan, nyaris tak bisa membuka kaki apalagi berselenjor. Padat tanpa sekat. Dua orang siswa SMA bertengger bersama kernet angkutan, nekat demi menghemat ongkos.

Gadis itu menghela nafas pasrah melihat angkutan pedesaan perlahan melaju meninggalkannya. Ia berhitung cepat, karena tak ada ojek yang biasanya mangkal di pertigaan ini. Ia putar balik, berjalan lebih cepat. Memilih jalan pintas melewati pematang sawah yang masih licin. Ia harus bisa sampai di terminal pukul enam tepat.

Nyaris tujuh tahun ia tinggal di desa ini. Ia tak kesulitan lagi untuk berjalan di pematang sawah yang hanya punya lebar sekitar setengah meter, di tambah licin karena siraman hujan semalam. Bukan masalah lagi. Kakinya cekatan berjalan cepat, sepatu bersihnya kini ternodai tanah pematang. Setelah melewati pesawahan, ia memasuki kawasan rumah-rumah penduduk yang beberapa masih mempertahankan gaya rumah panggung berdekatan dengan balong.

Melihat sepatunya yang kian tebal oleh tanah, ia memutuskan kembali ke jalan aspal. Sesekali menggesekan sepatu untuk mengurangi tanah yang menempel.

Beberapa anak berseragm SMP terlihat riang berbincang dengan teman lainnya. Mungkin semalam antena televisi di rumahnya berhasil menangkap sinyal yang bagus, sehingga mereka tak ketinggalan sinetron yang dibintangi Teuku Wisnu dan Shireen Sungkar. Sinetron itu sedang ramai dibicarakan karena bertahan hingga season 5.

Lihat selengkapnya