Kamar kecil dengan banyak tempelan di dindingnya adalah kamar milik gadis itu. Jendela kamar tepat menghadap rumah bibinya. Peta hidup lima tahun ke depan yang ia ceritakan pada sahabatnya benar-benar di panjang. Di tulis di atas kardus bekas dengan tulisan tangannya sendiri. Tulisannya rapi dan dipermanis dengan warna warni spidol murah. Garis-garis panah menunjukan alur yang kelak ‘harus’ ia lalui. Alur cita-cita lima tahun ke depan.
Sore ini tugas rumah sudah menanti. Tumpukan cucian piring sisa memasak ibunya tadi siang sudah melambai-lambai minta dibersihkan. Ibunya sedang menyelesaikan pekerjaan menjahit tepian kantong anyaman. Ini pekerjaan yang banyak diminati ibu-ibu sekitar. Dikerjakan setelah selesai dengan tugas utama di rumah. Bayarannya tidak besar, tapi jika dikumpulkan lumayanlah untuk uang jajan anak-anaknya.
Di kamar mandi ada Saif sedang mandi. Hana si bungsu asik bermain dengan anak bibinya di jalanan yang berhadapan langsung dengan hamparan sawah dan langit dengan semburat cahaya jingga.
Gadis itu memilih mengangkat baskom cucian piring dan pergi ke pancuran dekat rumah uwaknya. Di sana sudah ada dua ibu-ibu yang juga sedang mencuci piring di atas coran semen yang sengaja dibuat untuk mencuci baju atau piring.
“Eh, Neng Ela. Cuci piring juga?” tanya satu ibu yang mengenakan daster yang sudah basah bagian bawahnya.
Gadis bernama Ela itu mengangguk dengan senyum sopan-santun. Meleltakan baskom. Mengeluarkan piring kotor satu persatu ke atas coran semen. Lalu mengambil air bersih dari pancuran berdinding bilik bambu dengan baskomnya.
“Neng Ela udah mau lulus sekolahnya, ya?” tanya ibu satunya, tentu saja dengan logat daerah yang sangat kentara.
“Iya,” jawabnya singkat sambil membasahi piring kotor.
“Si Neng Janah juga udah lulus setahun, ga ngapa-ngapain, ya?”
Janah itu sepupu Ela. Lulus setahun lalu. Dia tidak melanjutkan kuliah karena memang sudah ada pria yang menunggu untuk melamarnya.
“Iya, ya. Katanya mau ditandain, ya sama Jang Dadun?”
Ditandain itu maksudnya tunangan. Ela hanya tersenyum menjawabnya, tanpa menghentikan gerak tangannya menyabuni piring dan gelas kotor.
“Padahal mah ngapain sekolah sampai SMA, tapi ujung-ujungnya nikah juga. Da ilmu rumah tangga mah ga perlu sekolah juga bisa. Yang penting waktu gadisnya rajin bantuin emak di dapur, udah. Jadi istri idaman.”
Ela menelan ludah. Ada kalimat yang tak ia setujui dari ucapan ibu itu barusan.
“Emang kalau sekolah kaya Neng Ela, nanti kalau lulus jadi apa?”
“Eh? Itu, Ceu … bisa jadi sekertaris kaya di film-fillm,” jawabnya iseng sambil nyengir.
“Atuh keren, ya.”
“Ah, tapi kalau ujung-ujungnya ke dapur mah sama aja, jadinya sekertaris suami,” bantah ibu yang lain.
Si ibu berdaster terkekeh.
“Iya bener, Neng. Buat kita-kita mah sekolah ga perlu tinggi, ujung-ujungnya ke sumur, dapur, kasur. Tuh, liat Neng Arin … belum lulus SMA keburu ditarik nikah. Suaminya kaya, dianya enak sekarang di kota.”