Kalian masih ingat rasanya saat pertama kali membuka soal Ujian Nasional? Hari pertama ujian, pelajaran Bahasa Indonesia. Dua lembar kertas HVS yang nyaris penuh oleh huruf-huruf yang bersatu menjadi kalimat. Bersamaan dengan hati yang berdebar, seakan masa depan ditentukan oleh hasil kertas-kertas ini.
Ela pun sama. Jantungnya mendadak berdegup kencang, bahkan kepalanya seakan berputar. Ia terlalu gugup menghadapi soal-soal ini. Butuh beberapa saat untuknya menetralkan hati. Kembali melafadzkan doa pada Sang Pemilik Takdir. Berdoa agar perjuangannya selama tiga tahun ini tak sia-sia. Juga perjuangan orang tuanya.
Suasana kelas hening. Tak ada yang berani bersuara. Semuanya hanyut dalam konsentrasi pada soal.
Selama tiga hari itu yang mereka rasakan. Nyaris seperti itu setiap hari.
Tapi sesulit apapun, Ujian Nasional tetap akan berlalu. Membuat helaan nafas lega terdengar di hari terakhir ujian. Tahap ketegangan pertama sebelum pengumuman kelulusan berhasil dilewati. Tingat akhir bisa merasakan hari-hari santainya sekarang. Sebelum hari kelulusan tiba.
Begitupun Ela. Dia lebih banyak membantu ibunya sekarang. Mengerjakan pekerjaan rumah, ikut menjahit tepian tas anyaman pandan dan tentu saja ia punya waktu lebih untuk bertemu sahabatnya.
Selain di saung perbatasan kampung, Ela dan Nur juga punya tempat ternyaman untuk sekedar menikmati semilir angin sore. Sebuah bangku panjang yang terbuat dari selongsong bambu, berada di antara dua gunduk rumpun bambu yang berseberangan. Di depannya ada lapangan sepak bola yang luas. Lapangan yang menjadi kebanggaan sekaligus ciri dari desa ini.
Di banding pergi ke saung, mereka lebih sering duduk di sini. Berdua menyaksikan pertandingan sepak bola antar kampung. Salah satunya dari kampung Farid. Pemuda yang selalu dijodoh-jodohkan oleh Ela untuk Nur.
Ela akan sibuk menggoda Nur jika Farid beraksi sebagai kiper. Tubuhnya yang tinggi memang cocok dijadikan sebagai penjaga gawang. Dan Nur akan tersenyum malu-malu sambil berteriak senang jika Farid berhasil menyelamatkan gawang tim sepak bolanya.
Di tim sepak bola kampung yang lain, ada satu pria juga yang dikabarkan dekat dengan Ela. Yang tempo hari di sebutkan Bi Ani. Tapi Ela tak menggubris kedekatan mereka sebagai suatu hubungan yang serius. Ela termasuk anak yang mudah bergaul, siapapun bisa menjadi temannya. Namun, warga sekitar kerap menduga-duga sendiri jika ada seorang gadis akrab dengan seorang pemuda, artinya mereka punya hubungan serius.
Ela punya pria lain yang diam-diam ia sukai. Hanya menyukai saja. Tanpa perlu diungkapkan. Karena ia cukup tahu diri. Pria yang ia sukai adalah anak dari seorang kiyai di kampung sebelah.
Diam-diam bukan berarti, Nur tak tahu. Ela sangat terbuka pada sahabatnya ini. Mereka tidak hanya tertawa bersama, menangis pun bersama.
Sore ini pertandingan sepak bola antar kampung sedang berlangsung. Ela dan Nur duduk di bangku panjang di bawa rumpun bambu, sementara yang lain memilih duduk di pinggir lapangan, lebih jelas melihat pertandingan.
“Hari ini bukan Aa Farid yang tanding,” goda Ela.
Nur protes dengan wajah putihnya yang merona.
“El, kamu jadi kuliah setelah lulus?” tanya Nur mencomot topik lain.