SARJANA RUMAH TANGGA

Lail Arrubiya
Chapter #7

Hijrah Ke Cileungsi

Sepanjang jalan, mata Ela basah. Kepalanya menempel di jendela bis. Menatap jalanan yang ia kenal selama ini, masih dengan mata yang basah. Sedari tadi, sebelum berangkat ia berusaha menahan genang air mata agar tak jatuh di hadapan ibu dan adik-adiknya.

Ia sudah bertekad untuk mencari pekerjaan. Menguatkan hati agar cita-citanya tercapai. Cita-cita agar bisa mengangkat martabat keluarganya.

Kata ayahnya, selepas kelulusan banyak pabrik yang membuka lowongan pekerjaan untuk para fresh graduate. Maka dengan segera ia berangkat ke Cileungsi. Tempat ia menghabiskan masa kecilnya.

Meski di Cileungsi ia menghabiskan cerita masa kecilnya, di desa … ia juga punya cerita masa remajanya. Bukan sepenuhnya cerita bahagia, tapi ada hal mengesankan di sana. Ada cerita tentang perjuangan orang tuanya, cerita tentang sahabatnya dan cerita tentang seseorang yang sampai detik ini tak pernah tahu isi hatinya.

Ia hanya mengandalkan surat kelulusan dan biodata diri yang sudah ia cetak dan diperbanyak untuk melamar pekerjaan. Ijazahnya belum keluar. Masih harus menunggu beberapa minggu. Namun, Ela tak ingin melewatkan kesempatan saat pabrik-pabrik sedang membuka lowongan pekerjaan.

Ia masih ingat angkutan mana yang akan membawanya sampai ke tujuan. Setiap mudik ke Cileungsi, ia menghafalkannya.

Angkutan berwarna biru dengan nomor rute 121 jurusan Cileungsi siap membawa Ela pada tujuannya dari terminal ini.

Terik matahari sedikit membuat Ela kewalahan. Maklum saja, beberapa tahun ini ia terbiasa turun dari angkutan dengan udara yang lebih sejuk. Kali ini ia perlu menyeka berkali-kali keringatnya. Belum lagi ramainya pendatang dan pedagang yang memenuhi terminal, menambah suhu di sekitar terasa semakin panas.

Tak lama menunggu angkutan ini penuh sesak oleh penumpang. Sore ini satu angkutan itu berisi orang-orang yang baru pulang bekerja. Terlihat wajah-wajah lesu dan aroma keringat yang menguar, kemudian bercampur satu sama lain.

Ela menelan ludah. Ia duduk paling pojok. Menyaksikan jelals semua wajah lesu berkeringat itu. Membayangkan dia juga akan berwajah begitu saat bekerja nanti. Tapi kemudian ia tersenyum. Bukankan bekerja memang melelahkan. Tapi akan lebih melelahkan jika tidak bekerja, tidak punya uang.

Tak ada kendala dalam perjalanannya. Angkutan berwarna biru ini melenggang gagah di jalanan. Pandai menyalip di tengah ramainya kendaraan lain yang berebut jalan. Hanya beberapa titik kemacetan tak bisa dihidari. Padat merayap.

Perumahan-perumahan elit mulai terlihat di sepanjang jalan, disusul ruko-ruko dengan isi berbagai toko bergaya minimalis memperjelas bahwa ini adalah bagian dari sebuah kota.

Hingga sebuah replika patung sphinx di sebuah perumahan elit menarik perhatian Ela. Matanya terus menatap patung yang biasanya ia lihat dibuku sejarah atau geografi. Mirip.

Tak lama dari perumahan elit itu, angkutan umum mulai mengurangi lajunya. Deretan angkutan dengan warna yang sama terlihat berbaris kurang rapi di perempatan jalan di samping fly over.

Bersama sisa penumpang lainnya, Ela turun dari angkutan. Ia sedikit melirik orang yang lebih dulu membayar ongkos. Ia tak tahu berapa ongkos yang harus dibayar, tapi juga tak mau dibodohi oknum sopir angkutan umum yang suka mematok harga lebih tinggi pada penumpang yang bertanya, berapa?

Ia tahu lokasi ayahnya berjualan ada di sekitar sini. Ia celingukan mencari gerobak milik ayahnya. Sedikit berjalan.

Lihat selengkapnya