Pagi hari yang berbeda dirasakan Ela. Ini hari keduanya di sini. Setelah kemarin berhasil membuat SKCK dengan segala dramanya, kini ia siap untuk melamar pekerjaan. Dengan setelan standar pelamar kerja pemula, jilbab hitam, kemeja putih dan rok hitam. Sebentar lagi sepupu jauhnya itu akan datang menjemput. Ia sudah siap.
Ela berpamitan pada ayahnya yang sedang meracik air gula di dandang besar. Berpamitan pada nenek dan kakeknya saat Asep sudah datang dengan motor bebek keluaran lamanya. Penampilannya sama seperti Ela. Setelan zebra, hitam-putih.
“Nebeng, ya, Sep,” ucap Ela basa-basi.
Asep hanya mengangguk dengan senyum tak keberatan sama sekali.
Petualangan mencari pekerjaan siap dimulai. Keluar dari gang rumahnya, jalan raya sudah terlihat. Lalu-lalang kendaraan langsung terlihat menggeliat di pagi ini. Angkutan umum yang didominasi angkot berwarna biru parkir di badan jalan, mengambil sebagian jalan yang seharusnya untuk lalu lintas. Namun karena sudah bertahun-tahun begitu, maka jadilan badan jalan itu sebagai tempat ngetem angkot biru.
Semakin menjauh pemandangan mulai berbeda. Deretan bengkel mobil dan motor menghiasi pinggir jalan. Kulit-kulit untuk jok motor menggantung di depan bengkel, ban-ban besar juga tertumpuk di sekitarnya. Semakin jauh, deretan plang pabrik mulai terlihat.
“Kita coba ke Aspek dulu, ya?” kata Asep yang mulai menepikan motornya untuk menyebrang ke sebuah pabrik yang sudah dipenuhi pelamar lain.
Ela turun dari motor Asep. Menelan ludah. Tak membayangkan kalau akan banyak pelamar kerja yang juga akan melamar di sini. Pakaian mereka semua sama. Hitam putim seperti zebra.
“Banyak banget yang mau ngelamar kerja, Sep?”
“Iya, karena pabrik ini sering banget buka lowongan.”
Ela mengangguk-angguk. Membuntuti Asep yang mulai menerobos orang-orang yang sepertinya masih menunggu.
“Belum nerima lamaran, ya?” tanya Asep pada pria seumuran dengannya yang sama sekali tak ia kenal.
“Belum. Sebentar lagi katanya.”
Asep mengangguk mengerti, kalau ia dan Ela harus menunggu pihak HRD atau mungkin satpam keluar untuk menerima surat lamaran pekerjaan mereka.
Sepuluh menit berlalu. Matahari mulai terasa hangat menyapa kepala manusia yang sedang menunggu di luar pabrik. Sebagian orang mulai menepi, mencari ruang teduh yang dipayungi pohon-pohon yang ada di sekitar pabrik.
“Kamu mau coba nyimpen lamaran ke pabrik lain?” tanya Asep di sela-sela menunggu.
“Eh? Kamu mau naruh lamaran di pabrik lain?”
Asep mengangguk yakin.
“Kita jangan cuma masukin ke satu pabrik aja. Ya, untung-untungan, sih, pabrik mana yang manggil duluan.”
Ela mengerti.
“Aku bikin dua surat lamaran, sih.”