SARJANA RUMAH TANGGA

Lail Arrubiya
Chapter #9

Doa Yang Dilangitkan

Sudah seminggu semenjak dirinya batal melamar kerja di konter ponsel di Mall berlalu, tapi panggilan kerja belum juga ia dapatkan. Sementara teman-temanya sudah mulai mengambil ijazah di sekolah. Ia tak ingin pulang ke desa sebelum mendapat pekerjaan. Ada sedikit gengsi di hatinya jika pulang tanpa pekerjaan. Sekolah yang dibanggakan akan membuatnya lebih mudah mendapat kerja, tak seratus persen tepat. Tetap saja keberuntungan jadi salah satu faktor.

Siang itu, selepas membantu neneknya di dapur dan mengantar makanan ke rak makan ayahnya, Ela yang duduk di bale – tempat duduk yang terbuat dari bambu – mendapat telepon dari ibunya Asep. Segera ia mengangkatnya.

“Iya, Wak. Ada apa?” tanya Ela selepas menjawab salam dari Uwaknya.

”Lagi ada lowongan, nih, di kantor Bang Rudi. Dia biasa makan di warung Uwak. Katanya minimal lulusan SMK, bisa komputer. Kamu mau?”

“Oh, mau, Wak. Nanti aku siapin surat lamarannya. Kapan aku kesana?”

“Besok. Katanya lagi dibutuhin banget. Nanti Uwak kirimin alamatnya.”

“Iya, Wak. Insyaa Allah besok aku ke sana. Makasih, ya, Wak infonya.”

Lagi-lagi ada harapan baru untuk gadis desa ini. Semoga kali ini keberuntungan bisa berpihak padanya. Dengan ilmu komputer yang ia dapat selama belajar di sekolah, harusnya ia percaya diri bisa mengikuti seleksi ini.

 Keesokan harinya, Ela bersiap dengan setelan standarnya. Entahlah, sepertinya dia tak punya referensi busana melamar kerja selain yang ia lihat di sekitarnya. Maka setelah kemerja putih dan rok hitam serta jilbab hitam menjadi andalannya setiap melamar pekerjaan.

Ela naik angkot biru untuk sampai ke perumahan yang di sebutkan Uwaknya kemarin. Uwaknya menyebutkan ciri spesifik dari perumahan itu. Sebuah patung yang dibuat mirip dengan sphinx yang ada di Mesir. Ia tahu persis tempat perumahan itu. Tempo hari, saat ia pertama kali datang ke sini, replika patung sphinx itu menarik perhatiannya.

Sampai di sana, beberapa ojek langsung menawarkan jasanya. Karena ia belum tahu daerah sini, ia memilih untuk menggunaka jasa ojek konvensional. Setelah memberikan alamatnya, Ela menanyakan tarif ojek pangkalan ini.

Setelah di rasa sesuai, Ela setuju dan segera naik ke motor. Ela tersenyum lebar melihat pemandangan menuju ke sana. Pohon-pohon rindang memayungi jalanan dengan aspal yang mulus. Otaknya langsung memvisualisasikan sebuah adegan di drama Korea yang pernah ia tonton. Berjalan berdua di bawah daun-daun kecoklatan yang gugur.

Dasar! Gadis ini dulu suka menulis, sehingga beberapa momen yang ia anggap menakjubkan akan otomatis digambarkan penuh drama olehnya.

Hingga di sebuah putaran, motor meliuk, mulai mengurangi kecepatannya memasuki sebuah ruko dengan konsep little china.

“Ini, Mbak, alamatnya,” kata tukang ojek menunjuk pada sebuah ruko dengan papan nama PT. JAYA LAB.

Ela mengangguk, kemudian berterima kasih setelah memberikan ongkos yang tadi disepakati. Ia sedikit gugup saat hendak mengetuk pintu dengan kaca film buram yang tak bisa memperlihatkan sepenuhnya isi ruangan itu.

Pelan-pelan Ela mengetuk pintu, kemudian membuka pintunya.

“Permisi,” ucapnya berusaha menutupi gugup dengan senyum kuda.

Seorang wanita dengan potongan rambut pendek berkacamata menoleh. Tatapannya tegas. Membuat Ela sedikit kikuk.

“Iya, silahkan masuk.”

Ela kembali menebar senyum groginya.

“Kamu mau melamar pekerjaan?”

Ela mengangguk senang. Berkat pertanyaan yang langsung ke intinya itu ia tak perlu pusing-pusing memikirkan kosa kata yang harus dipakai.

“Boleh. Kamu simpan dulu surat lamarannya. Nanti pihak HRD akan menghubungi.”

Ela memberikan amplop coklat yang ia tenteng sedari tadi. Kemudia segera pamit, karena memang hanya itu agendanya hari ini.

Keluar dari sana ia sedikit bingung, tadi saat ke sini ia menggunakan jasa ojek pangkalan. Sekarang, ia tak melihat ada ojek di sekitar sini. Ia celingukan ke arah sebuah halte yang tak jauh dari sana. Tak ada tanda-tanda ojek pangkalan di sana. Ia menghela nafas. Terpaksa berjalan kaki untuk sampai ke luar perumahan ini.

Tapi lagi-lagi, ia dibuat takjub dengan pohon-pohon yang teduh memayungi jalanan. Ia tersenyum, menikmati sekali perjalanan. Otaknya kembali menggambarkan momen romantis dalam sebuah drama di bawah dedaunan yang gugur. Kegiatan itu efektif membuat perjalanan kakinya tak melelahkan. Sampai replika patung sphinx terlihat bagian belakangnya.

Lihat selengkapnya