SARJANA RUMAH TANGGA

Lail Arrubiya
Chapter #10

Sedikit Patah Hati

Keluarga besar di desanya sudah mendapat tanggal untuk acara pernikahan Janah dan Dadun. Di desa itu saat akan ada acara besar, sekitar seminggu sebelumnya keluarga akan sibuk membuat kue-kue kering. Kue semprit, saroja, ladu, rengginang, opak sampai ketang kering yang di sekitar disebut kentang mustofa sudah siap diolah.

Dapur dadakan tak henti mengepulkan asap, bau minyak panas sekaligus hawa udaranya tercium pekat di sana. Di sisi lain, di dekat pohon jeruk nipis ibu-ibu duduk berselonjor sambil mencetak ketan yang sudah diaroni hingga berbentuk bulat sempurna, dengan warna sedikit merah yang mengindikasikan kalau rengginang itu bercita rasa terasi.

Terlihat Ibunya Ela ikut membantu di bagian rengginang dan opak. Sementara adik bungsunya asik bermain bersama saudara-saudaranya di depan rumah.

Saudara jauh pun sudah mulai berdatangan. Dari Purwakarta, dari Kuningan, semua datang untuk membantu kelancaran acara pernikahan Janah.

Di antara kesibukan itu, tiba-tiba suara motor berhenti di jalan depan. Tepat si penumpang turun, Ibunya Ela beranjak bangun. Ia tahu persis siapa yang datang. Sebelumnya, Ela sudah mengabari ibunya bahwa ia akan pulang untuk mengambil ijazah di sekolah.

Teteh …” seru Hana yang sadar kakaknya pulang. Berlari dengan cepat kemudian memeluk kakaknya.

Dengan senyum mengembang Ela menyalami ibunya yang sudah banjir dengan peluh, karena seharian membantu di dapur.

“Eh, Ela,” seru Bi Ani. “Kok, sudah pulang lagi?”

“Mau ambil ijazah, Bi. Soalnya lusa sudah harus masuk kerja,” jawab Ela dengan senyum, sengaja sekali suaranya dikeraskan agar terdengar yang lain.

“Udah kerja?” tanya Bi Yani yang berada tak jauh dari sana, di rombongan rengginang dan opak.

“Udah, Bi. Alhamdulillah.

“Kerja di mana? Jadi apa?” tanya Bi Yani yang sepertinya penasaran sekali.

“Di perusahaan alat lab, gitu. Jadi accounting.”

Ah, bangga sekali Ela menyebutkan posisinya bekerja. Padahal ia sendiri belum tahu macam apa pekerjaannya nanti. Yang jelas, saat melihat ibunya tersenyum ikut bangga, hatinya berbunga. Itu memang yang ia harapkan. Membanggakan orang tuanya serta mengangkat martabat keluarganya.

“Apa, itu teh?” Ibu-ibu yang lain ikut masuk dalam obrolan karena ikut penasaran.

“Itu, Ceu … yang kaya sekretaris gitu,” jawab Ela.

“Duh, gusti, yang kaya di film-film. Kerjanya di depan komputer, ya?”

Ela mengangguk masih dengan senyum mengembang yang bertahan.

“Udah dulu ngobrolnya. Kamu istirahat dulu sana. Ada Saif di rumah.”

Ela pamit pada ibu-ibu di sana yang kemudian masih meneruskan pertanyaan mereka pada ibunya Ela. Bertanya tentang apa saja pekerjaan Ela nantinya, gajinya berapa bahkan ada yang sampai membahas Ela akan mendapatkan jodoh di sana.

Di rumahnya yang baru beberapa minggu ia tinggalkan, ia melihat barang-barang milik orang lain di kamarnya.

“Ada siapa?” tanya Ela pada Saif yang terlihat biasa saja bertemu dengan kakaknya lagi.

Saif menghela nafas.

Wak Iyet sekarang tinggal di sini,” ucap Saif malas.

“Eh, tinggal? Sampai acara Janah selesai aja, kan?”

Saif menggeleng.

Lihat selengkapnya