SARJANA RUMAH TANGGA

Lail Arrubiya
Chapter #11

Hari Pertama

Ada rasa rindu di hati Ela saat hendak mengambil ijazah di sekolahnya. Rindu perjalanan menuju sekolahnya. Pagi-pagi sekali di saat sebagian orang mulai berangkat ke sawah dan ladang mereka, Ela berlari demi mengejar angkutan berwarna kuning pucat yang hanya datang sekali di jam yang sama. Kali ini dia berhasil. Satu sekat bangku di bagian ujung dekat pintu yang tertutup orang yang bergelantung di pintu mobil.

Pemandangan dalam angkutan masih sama. Karung-karung besar mendominasi, hingga kaki-kaki panjang harus tertekuk sampai di terminal. Ela menikmati suasana dan aroma dalam angkutan ini. Karena mungkin kelak aroma dan suasana ini akan ia rindukan.

Sesampainya di sekolah, ia menyayangkan karena tak bisa bertemu dengan teman-temannya. Mereka sudah lebih dulu mengambil ijazah.

Ela bersyukur semua biaya administrasi sekolah sudah dilunasi. Ia bisa mengambil ijazah tanpa hambatan. Ia tahu betul semua biaya yang sudah lunas ini memerlukan perjuangan keras dari orang tuanya. Maka saat ijazah itu sudah dalam pelukan Ela, ia berazam dalam hati bahwa ia akan membahagiakan orang tuanya semampunya. Karena ia sadar tak akan mampu membalaskan semua perjuangan orang tuanya selama ini.

Tujuan utama kepulangannya sudah di tangan. Ia harus segera kembali ke Cileungsi. Hari esok akan memberinya banyak cerita baru.

“Mah, aku pamit, ya,” ucap Ela berpamitan pada ibunya.

Hana menyusul menyalami Ela. Sementara Saif, dia dipamiti dengan kata-kata. Mereka hanya bersalaman saat lebaran saja.

Ia juga berpamitan pada Wak Iyet yang katanya sekarang akan tinggal bersama ibunya.

Di luar saudaranya yang lain juga ikut mengantar keberangkatan Ela, termasuk si calon pengantin.

“Nanti nikahan Janah kamu pulang, kan?” tanya ibunya Janah.

“Belum tau, Wak. Aku kan, baru masuk kerja.”

“Bapakmu kapan ke sini?” tanya ibunya Janah lagi.

“Bapak mah H-1 palingan. Sayang dagangnya lagi rame.”

Setelah sedikit obrolan lagi, Ela kembali mencium tangan ibunya. Minta doa agar hari pertamanya bekerja berjalan lancar. Ia segera naik ke ojek yang sudah menunggunya.

Ia kembali meninggalkan desa kecil yang mengguratkan cerita remajanya. Sekaligus meninggalkan kisah cinta yang selama ini terpendam.

***

Ia sedikit bingung dengan kostum yang akan ia kenakan hari ini. Apa setelan pekerja kantor memang selalu kemeja dan celana kulot. Seperti wanita di kursi resepsionis yang ia lihat saat itu. Tapi kemejanya tak banyak. Ia melihat sebuah tunik coklat dan rok hitam. Sepertinya itu masih cocok untuk dikenakan pekerja.

Dia sudah siap.

Kali ini rasa gugup itu bercampur dengan rasa antusias. Tak jauh berbeda dengan penggambaran ibu-ibu yang mencuci piring bersamanya di balong saat itu, ia membayangkan pekerjaannya macam sekretaris di film-film yang menenteng buku agenda kemana-mana.

Ia sampai dua puluh menit sebelum jam kerja. Baru ada Office Boy saat ia sampai di sana. Ela sedikit celingukan tak tahu harus bagaimana. Maka ia putuskan menunggu di kursi tunggu depan meja resepsionis.

“Mbak baru, ya?” tanya Office Boy yang baru saja selesai membersihkan lantai atas.

“Iya, Mas,” jawab Ela canggung.

“Pantesan. Datengnya pagi banget,” ucapnya dengan senyum seakan mengejek. “Kenalin, saya Aris. Mbaknya bakal ketemu saya terus kalau datang sepagi ini.”

Sepertinya Office Boy ini senang bergurau. Dari wajahnya, Ela menebak usianya tak jauh berbeda dengannya. Paling berbeda satu atau dua tahun.

Setelah sepuluh menit menunggu barulah datang wanita dengan wajah tegas yang ia temui di meja resepsionis.

“Wih, kamu udah dateng aja,” serunya seraya melepas topi kupluk merah yang ia kenakan.

Ela hanya tersenyum sambil mengangguk sopan.

“Ayo, naik ke atas aja. Kamu akan seruangan sama aku. Sama Bu Okta juga. Dia bos kita nanti.”

Ia hanya mengangguk-angguk, kemudian membuntut di belakang wanita dengan wajah tegas itu. Di lantai atas memang ada satu meja yang kosong. Tempo hari ia sempat melirik ke meja itu. Di sampingnya ada mesin fotokopi.

“Ini meja kamu. Dan kenalin aku Febri,” ujarnya wanita dengan wajah tegas sambil menyodorkan tangannya.

Dengan senyum pula Ela menerima uluran tangan itu. Merasa kalau wanita berwajah tegas yang kini ia ketahui bernama Febri akan sangat mudah akrab dengannya. Usianya mungkin jauh dari Ela, tapi gaya pakaian dan bicaranya masih sangat bergaya anak muda.

Sambil menunggu bosnya datang, Febri banyak bercerita tentang orang yang sebelumnya duduk di kursi Ela beserta tugasnya.

Tak lama, wanita berwajah tegas kedua yang ia temui datang. Menebar senyum dan salam yang penuh semangat.

“Hai, kamu sudah siap bekerja hari ini?”

“Siap, Bu,” jawab Ela masih malu-malu.

“Oke. Kamu ikut ke ruangan saya dulu, yuk.”

Ela membuntut di belakang wanita berwajah tegas kedua. Masuk ke ruangannya, sang pemilik ruangan langsung menyalakan mesin pendingin dan menyalakan komputernya. Lalu duduk dan mempersilakan duduk.

“Nah, Ela, di hari pertama kamu kerja saya akan ngajarin beberapa tugas kamu secara bertahap, ya. Tugas pokok kamu itu menginput data, membuat invoice keluar beserta faktur pajaknya. Nanti saya ajarin. Tapi untuk saat ini kamu cukup input data-data saja.”

Ela mendengarkan dengan seksama wanita berwajah tegas yang suaranya juga terdengar tegas.

“Oh, iya. Kita belum kenalan secara resmi. Saya Oktaria, kamu bisa panggil Okta saja.”

Wanita berwajah tegas kedua yang kini semakin yakin Ela panggil Bu Okta itu mengeluarkan setumpuk nota.

“Ini ada pengeluaran kantor. Mulai dari pembelian ATK, alat kebersihan sampai tol perjalanan kerja. Kamu susun berdasarkan tanggalnya, dan … susun teratur mulai dari jam terawal. Nih, contohnya,” papar Bu Okta yang kemudian menyodorkan susunan nota yang sudah disusun rapi berdasarkan tanggal dan jamnya.

“Setelah itu, kamu tulis di nota merah ini. Selesai ditulis di nota, kamu input ke komputer. Nanti Febri yang kasihh tau foldernya di komputer kamu. Sudah paham?”

Ela mengangguk. Ia merasa itu pekerjaan mudah.

Ia mengambil tumpukan nota dari meja Bu Okta dan keluar dari ruangannya.

Lihat selengkapnya