Kehidupan sedang memberi udara segar untuk gadis yang pernah bermimpi mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Beberapa bulan ini pekerjaannya berjalan dengan baik. Ia bisa mengikuti arahan senior dengan baik.
Input data, cara memfotokopi sampai mengganti tintanya, bahkan sampai belajar menata suara saat mengangkat telepon dari luar. Saat pertama kali masuk, ia akan mengangkat telepon dengan nada suara datar cenderung menekan. Sampai Bu Okta pernah sengaja meneleponnya saat sedang diluar kantor, menyebut Ela menjawab telepon seperti sedang menakut-nakuti orang.
Tapi kali ini suaranya jauh lebih baik. Tertata.
“Selama siang. PT. Jaya Lab, dengan Ela. Ada yang bisa saya bantu?”
Febri sampai tersenyum saat kali ini Ela menjawab telepon bahkan dengan senyum yang tak dilihat si penelepon.
Hari-hari yang dilalui Ela cukup baik. Apalagi setelah ia menerima gaji pertamanya, beberapa bulan lalu. Dengan sedikit mata yang berkaca, ia menerima uang pertama dari hasil jeripayahnya sendiri. Nominal yang mungkin tak mencukupi semua keinginannya, namun ia meyakini perlahan mimpi-mimpi untuk keluarganya bisa terwujud.
Gaji pertama yang kemudian ia kirimkan untuk ibunya lewat sang ayah yang harus pulang untuk menjenguk istri dan dua anaknya di desa kecil. Tak lupa ia berikan juga untuk neneknya. Tak banyak. Uang yang didapatnya juga harus diatur untuk keperluan kerjanya.
Tapi nominal yang tak besar itu mampu membuat air mata menetes. Haru seakan mendesak ibu dan neneknya saat menerima amplop putih berisi uang yang bahkan tak bisa dipakai untuk sebulan makan.
Semenjak menerima gaji pertama, semangat bekerjanya makin bertambah. Ia berharap dengan kesungguhannya, kelak nominal gajinya bisa perlahan naik.
Dan satu hal yang selalu membuat Ela bahagia saat bekerja. Ia selalu senang menunggu jam pulang kantor. Tentu saja ini menyenangkan buat semua karyawan. Tapi yang diincar gadis ini adalah suasana sepulang kerja. Ia suka sekali dengan sinar senja yang menjingga yang menerobos melewati sela-sela dedaunan, angin sepoi yang mengusap jilbabnya lembut, atau jika sedang beruntung ada satu dua daun gugur mengiringi langkahnya. Imajinasi di kepalanya selalu membuat perjalanan pulang itu menyenangkan.
Setidaknya, semua itu tetap indah dipandang Ela. Hingga satu peristiwa membuatnya merubah semua imajinasi indah itu. Tak lagi seperti adegan estetik macam dalam film. Tapi sebuah perjuangan yang harus semakin diperjuangkan.
***
Pagi itu, saat Ela tengah mendapat hari liburnya. Ia mengantarkan sarapan untuk ayahnya. Tak seperti biasa, setelah selesai mempersiapkan bahan dagang es kelapa, ayahnya terlihat sendu. Ia terlihat banyak menghela nafas. Ela jelas melihat perubahan sikap itu.
“Kenapa, Pak?” tanya Ela seraya menghampiri ayahnya di kursi kayu di pojok dapur.
Ayahnya memulai jawaban dengan sebuah helaan nafas yang berat.