Tak mungkin lagi untuk ibunya Ela tinggal di desa kecil yang tujuh tahun lebih sudah melukiskan berbagai cerita dalam hidupnya. Pertikaian kemarin membulatkan tekad ayahnya untuk membawa seluruh keluarganya kembali ke kota kelahiran ibunya Ela.
Tak banyak bicara, ayahnya Ela memboyong keluarga kecil itu kembali ke daerah perbatasan kota Bekasi dan Kabupaten Bogor. Meninggalkan rumah dan keluarganya demi sang istri. Maunya, tak ada hubungan keluarga yang retak. Namun, masalah yang jelas dibuat sebelah pihak ini membuat pertahanan yang selama ini dibangun Ela dan keluarganya untuk bertahan di sana, runtuh. Selama ini, Ela dan keluarganya memendam apapun hal tidak menyenangkan yang pernah mereka rasakan di sana. Omongan di belakang, sikap membeda-bedakan dan berat sebelah sudah sering dirasakan. Tapi demi sebuah kata bakti dan ikatan kekeluargaan Ela dan keluarganya bertahan.
Ibunya menyadari, tak semua cerita di desa itu sifatnya nelangsa. Tapi, pertikaian kemarin cukup untuk membangkitkan semua cerita perih di sana. Mendominasi ingatan tidak menyenangkan tentang desa itu.
Begitupun Ela. Setelah mendengar cerita dari ibunya yang kini sudah tinggal bersamanya, ada perasaan marah dan benci yang mendominasi. Dari cerita ibunya, ia tak bisa membayangkan perasaan ibu dan adik-adiknya saat dihardik, dicaci oleh kakak tertua dari ayahnya.
Cerita itu terus berputar di benak Ela beberapa hari ini, bak kaset kusut yang dipaksa berputar. Sisa-sisa cerita berantakan karena sebuah rasa sakit. Sulit melupakannya.
Ibunya tak menyangka sama sekali bahwa ia akan difitnah oleh orang yang beberapa bulan tinggal bersamanya. Tak pernah ada pertikaian dengan Wak Iyet sebelumnya. Semuanya berjalan seperti biasa.
Hingga dua hari sebelum suami Wak Iyet datang mencaci ibunya, Wak Iyet dan anak lelakinya berkemas. Pulang ke rumahnya di Purwakarta. Hingga keesokan harinya, suami Wak Iyet tiba-tiba datang dengan wajah penuh amarah.
“Heh, jangan belagu cuma tinggal di rumah kecil begini. Berani-beraninya kamu ngusir istri saya!”
“Kang, kita obrolin bareng dulu. Saya ga pernah ngusih Teh Iyet.”
“Alah, ga perlu! Emang dasar belagu!”
“Wak, Mamah ga pernah ngusir Wak Iyet!” sela Saif berusaha membela ibunya.
“Diem kamu! Anak kecil tau apa. Emang dari awal saya udah ga suka sama kalian. Banyak gaya. Baru juga anaknya keterima kerja, udah belagu. Saya sangat bisa buat ngusir kamu dari sini!”
Saif menahan amarahnya. Sementara Hana menahan isak di belakang tubuh Saif. Ia ketakutan mendengar orang dewasa bicara dengan nada tinggi dan wajah gusar.
Sementara keluarga yang lain tak banyak berbuat, hanya sekedar bilang, “sudah A, sudah …”
Selebihnya tak ada yang membela ibunya Ela. Hanya satu bibinya yang sedikit menghibur setelah saudara yang lain berhasil membawa suami Wak Iyet pergi. Meninggalkan ibunya Ela yang menangis dan anak-anaknya yang ikut menangis.
Kemarahan dan benci yang tercipta di hati Ela, juga dirasakan oleh Saif. Bukan hanya marah, ia juga kecewa pada dirinya sendiri karena tak bisa membela ibunya. Sementara Hana yang tak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi menangis, karena melihat ibunya menangis.
Ingatan itu akan terus diingat, terpatri di benak mereka entah sampai kapan.
Mungkin, kelak waktu bisa memberi kesempatan untuk Ela berdamai lebih cepat dengan masa lalu kelam itu. Tapi bagi Saif dan Hana yang menyaksikan, cerita itu pasti bertahan lebih lama.
Maka saat ini, mungkin luka itu akan terus menganga. Diobati bukan berarti langsung sembuh. Ada proses yang memakan waktu untuk bisa sembuh dari luka.
***
Mata yang dulu memandang senja yang menyelinap melalui ranting pohon dan dedaunannya yang memayungi jalan itu indah, kini berbeda. Mata itu lebih menyiratkan ambisi untuk terus bekerja lebih keras agar marah dan benci ini bisa terlampiaskan. Agar materi yang terkumpul bisa mengangkat derajat orang tuanya. Makin hari Ela makin giat bekerja. Semua pekerjaan semakin mahir dikerjakan. Bahkan sekarang ia mulai ikut lembur saat ada alat lab yang datang. Tak pernah menolak jika ada tawaran lembur. Semua ia lakukan demi mengangkat martabat orang tua yang menurutnya sudah diremehkan oleh keluarga ayahnya.