Dalam bayangan Ela, reuni adalah waktu untuk kembali bernostalgia tentang cerita saat bersama. Setidaknya itu memang dilakukan saat reuni. Tapi nyatanya ada hal lain yang luput dari dugaannya.
Setelah satu bulan mengatur waktu agar bisa reuni dengan teman-teman SD, akhirnya mereka mendapati satu hari yang bisa mereka luangkan untuk bernostalgia. Bercerita tentang betapa badungnya anak lelaki yang sering menjahili anak perempuan. Tentang suka-sukaan ala anak SD. Tentang orang yang saat ini tak bisa hadir karena sibuk dengan aktifitasnya.
Satu meja panjang yang digabungkan sengaja dipesan di sebuah kedai roti bakar. Makanan dan minuman sudah tersedia sesuai budget yang disepakati. Riuh tawa dan ucapan dari lima belas ornag ini menghiasi ruangan. Ela hanya ikut tertawa sesekali sambil memperhatikan teman-teman lamanya. Mereka sedikit berubah. Gaya rambut, riasan di wajah, bahkan cara bicara mereka benar-benar berbeda.
Sebenarnya, ada rasa minder yang tersimpan di hatinya. Melihat penampilan teman-temannya yang trendy, membuat Ela sedikit kikuk. ia datang dengan setelan tunik dan celana kulot yang memang sering ia kenakan bekerja. Ada bisikan yang bilang mereka anak kota, dan kamu anak desa.
“Ela, jadi sejak kapan kamu balik ke sini? Kamu masih ingat waktu kita nganter kamu pindahan?” tanya Sofi, si mahasiswa kebidanan.
Ela sedikit terkesiap. Ia tak menyangka obrolan akan beralih padanya.
“Iya. Setelah lulus aku langsung ke sini,” jawab Ela.
“Hadiah kenang-kenangan dari kita masih ada ga?” tanya Linda, satu temannya yang lain.
Ela mengangguk. Memang masih ada. Dia menyimpannya baik-baik. Hanya saja saat pindahan, miniatur sepeda ontel dari Sofi patah dan boneka Winnie The Pooh mini dari Linda 'didandani' Hana menggunakan spidol merah. Tapi ia tak perlu menceritakan itu.
Obrolan ringan masih mendominasi. Beberapa saat mereka diberi waktu untuk menyantap hidangan sederhana di depannya. Makan dengan perlahan, sedikit jaga image. Tapi ada satu-dua orang yang tak sabar ingin bercerita.
“Lu ambil jurusan apa, Nest ?” tanya seorang pria di ujung meja.
“Pendidikan Kepelatihan Olahraga,” jawab Ernest, pria blasteran dengan tubuh paling tinggi di antara yang lain.
Dulu Ernest adalah bintang kelas yang bersaing dengan teman Ela yang tak bisa datang karena ada tugas kuliah yang harus selesai tepat waktu. Selain saingan, tenyata teman Ela ini juga menyukai Ernest. Maka, bisa jadi rivalitas hanya sebuah alasan agar ada interaksi yang tercipta antara dia dan Ernest.
“Widie … keren. Emang bintang kelas mah beda masa depannya,” sahut pria yang lain.
Yang dipuji hanya tersenyum simpul.
“Biasa aja. Setiap orang bisa punya masa depan yang cerah, kok. Asal mau usaha,” bantah Ernest yang merasa tak setuju dengan ucapan temannya.
“Baik, Pak Guru,” timpalnya dengan jawaban mengolok-olok.
Namun tak digubris lagi oleh Ernest.
“El, kamu kuliah di mana?” tanya pria di ujung meja.
Membuat Ela menghentikan tangan yang hendak menyuapkan potongan roti ke mulutnya.
“Ehm, itu … aku langsung kerja.”
Beberapa orang hanya ber-oh saja mendengarnya. Sementara Ela, ada sedikit malu di hatinya.
“Eh, ikut kelas karyawan aja. Kayak aku,” sela Windy di sela lengang beberapa detik.