Asa yang kini membumbung tinggi terasa mengisi sebagian besar hati Ela. Ia tak sabar untuk bicara pada orang tuanya soal rencana melanjutkan pendidikan. Selepas membersihkan diri, Ela menghampiri ibu dan ayah yang tengah menonton televisi tabung 24” di ruang tengah bersama Hana. Saif memilih menghabiskan malamnya di kamar. Semenjak kejadian memuakan di desa kecil itu, Saif lebih sering mengurung diri. Hanya keluar sekedarnya saja.
“Mah, Pak, kalau aku mau ngelanjutin kuliah, boleh ga?”
Kedua orang tuanya saling pandang. Harusnya sang putri tahu jawabannya.
“Aku mau ikut kelas karyawan. Aku bisa kuliah sambil kerja.”
Kali ini tatapan keduanya kembali pada Ela.
“Ela, kami ngerti keinginan kamu. Kalau sekiranya, kamu yakin bisa, kami cuma bisa mendoakan. Kamu tau, kan kami … ga mampu buat bayar kuliah kamu. Buat sekolah Saif dan Hana Insyaa Allah kami masih sanggup.”
“Iya, Pak. Aku ngerti. Yang penting, Bapak sama Mamah doain aku, ya. Semoga kali ini aku punya kesempatan buat ngelanjutin pendidikan aku.”
Ia ingat peta hidup yang ia gambar di atas kardus bekas yang digantung di dinding kamarnya, yang kini ia tinggalkan tanpa ingin mengingatnya selain peta hidup itu. Tulisan di atas kardus itu memang tertinggal di sana, namun mimpi dan harapannya ia bawa. Ia simpan di sudut hatinya meski sempat tertutup asa yang lain.
Di akhir pekan, ia segera berangkat menemui Windy yang sudah beberapa hari membuat janji dengannya. Masih di kafe jalanan yang sama dengan yang ia datangi bersama Sofi.
“Nih,” ucapnya sambil menyodorkan brosur dan selembar formulir pendaftaran di kampusnya.
Ela menerima dan langsung membaca yang penting-pentingnya saja. Syarat pendaftaran dan biayanya. Saat melihat rincian biaya awal yang harus dikeluarkan ia menelan ludah. Ia tahu persis uang tabungannya tak cukup untuk membayar biaya awal. Biaya kuliah per semesternya pun cukup besar. Ia tahu berapa gajinya jika dikurangi untuk tabungan biaya semester, uang transportasi, kebutuhannya, juga kebutuhan lain jika orang tuanya butuh untuk pendidikan Hana dan Saif.
Tapi sebisa mungkin ia sembunyikan raut sendu itu. Lagi-lagi impiannya terjegal. Tapi ia lebih memilih menghabiskan sisa akhir pekannya dengan menyenangkan bersama Windy. Menampakkan kesedihan saat ini pun tak mengubah nominal saldo di rekiening tabungannya.
Namun, setelah waktu terpaksa menarik kebersamaannya dengan Windy, ia kembali menatap brosur itu dengan sendu.