Ela berhasil memupuk dengan baik tekad untuk melanjutkan pendidikannya. Selama setahun ini ia banyak berhemat. Mengurangi uang makan. Ia memilih membawa bekal makan siang dari rumah, menu yang sama dengan menu sarapannya. Ia juga kerap ikut lembur, nyaris setiap akhir pekan ia gunakan untuk bekerja. Pertemuan dengan teman-temannya sejenak dilupakan. Hanya sesekali saat ia benar-benar penat, ia putuskan untuk bertemu teman-teman lama yang kini jadi penghiburan untuknya. Tapi terkadang, bersamaan dengan pertemuan itu ada rindu yang dirasa. Rindu pada sahabat yang bisa ikut tertawa mendengar lelucon garingnya, yang juga bisa ikut menangis mendengar cerita nelangsa tentang kehidupannya yang pilu di sana. Nur. Dia merindukan Nur.
Setahun melesat tanpa peduli pada apa yang sudah tertinggal di belakang. Waktu sedikit merubah Ela. Gaya berpakaiannya sedikit berubah, lebih modis di bandingkan Ela yang dulu saat pertama kali melamar pekerjaan dengan kostum yang itu-itu saja. Gaya bicaranya juga lebih tertata. Pengalaman kerjanya yang merubah semua itu. Tapi yang tak berubah dari Ela adalah mimpinya untuk melanjutkan pendidikan.
Tabungannya dirasa sudah cukup untuk mendaftar. Ia hanya perlu mencari kampus yang biaya kuliahnya sesuai dengan isi dompetnya.
Sore itu, selepas pulang kerja. Ia mampir ke warung es kelapa ayahnya. Sekedar melepas dahaga setelah kepanasan di dalam angkutan umum tadi. Dari jauh terlihat ayahnya tengah bicara dengan seorang gadis yang sebaya dengannya. Matanya berusaha memperjelas pandangan. Siapa gadis yang sepantaran dengannya itu? Seakan tak asing.
Ela mempercepat langkahnya. Mengucapkan salam setelah sampai di warung ayahnya.
Nyaris bersamaan, gadis itu juga menjawab salam dari Ela.
“Ela,” seru gadis itu dengan senyum lebar yang memperlihatkan gigi gingsulnya. Membuat wajah si gadis terlihat semakin manis.
“Ini Tyas, anaknya Mang Juan.”
Ela sedikit mengingat. Beberapa saat, ia baru ingat.
“Oh, iya Tyas. Maa syaa Alloh, sampai ga kenal,” ucapnya dengan mata berbinar. Bagaimana ia tak lupa. Terakhir bertemu Tyas itu saat keduanya masih kecil. Sekitar kelas 3 SD.
“Dia kuliah sambil kerja juga,” kata ayahnya seakan tahu itu akan jadi topik yang menyenangkan untuk putrinya.
“Oh, iya? Kuliah di mana?”
“STKIP Harapan Bangsa.”
Mata Ela makin berbinar.
“Sambil duduk aja, ngobrolnya,” kata ayah Ela.
Bertemankan dua gelas es kelapa keduanya duduk di bangku panjang. Ayah Ela memilih pergi ke warung sebelah, memberikan ruang untuk ke dua gadis itu bicara.
“Jadi kamu ngambil ilmu pendidikan? Jadi guru, dong?” tanya Ela.