Doa yang dipanjatkan tak mesti dijawab dalam waktu yang singkat. Butuh beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun sebuah doa akan diijabah.
Tapi untuk Ela, Pemilik Semesta tak perlu waktu sampai tahunan untuk memberi kode yang diingini gadis ini, seperti dalam doanya tentang pilihan kampus mana yang akan ia jadikan pilihan untuk meneruskan pendidikan. Sore itu selepas maghrib, saat ia mengajari Hana belajar, beberapa teman baru Hana datang. Niatnya mau mengajak Hana bermain. Tapi Ela melarangnya. Hana harus belajar dulu. Pelajaran di sini terasa jauh lebih sulit di banding pelajaraan saat di desa. Terutama pelajaran Bahasa Inggris. Jauh sekali perbedaannya.
“Daripada main di luar malem-malem gini, mending ikut belajar, yuk!” ajak Ela.
Tanpa diduga dua anak itu mengangguk. Ikut belajar bersama Hana.
Dan ajaibnya, tiga hari kemudian dua teman baru Hana mengajak temannya yang lain. Membuat Ela menelan ludah karena mereka semua juga ingin belajar bersama.
Ela merasa tak masalah meski sepulang kerja harus mengajari mereka. Bahkan terkadang, mereka rela menunggu jika Ela terlambat pulang karena ada tambahan pekerjaan. Begitupun Ela, ia merasa nyaman mengajari anak-anak belajar meski tanpa imbalan.
Maka, malam itu, saat ia kembali mengadu pada Tuhannya, sebuah mimpi mengahampirinya. Mimpi yang membuat Ela tersenyum dalam lelap tidurnya. Sebuah mimpi di mana ia dikerumuni anak-anak yang ribut bertanya. Bukan di sebuah kelas, tapi rasanya seperti sedang mengajar. Dan perasaan yang ia rasakan terbawa sampai bangun dari mimpi. Menyenangkan.
Dari mimpi itu, juga dari beberapa hari menemani anak-anak belajar, Ela merasa yakin kalau itu kode dari Tuhan atas kebimbangannya selama ini.
Dengan hati yang penuh dengan keyakinan, Ela membicarakan pilihannya ini pada orang tuanya.
“Ya, kalau itu keputusan kamu, Bapak sama Mamah ikut aja,” jawab ayahnya yang benar-benar pasrah atas pilihan sang putri.
“Iya, Mamah juga. Lagian kalau jadi guru, kan, kerjanya ga sampai seharian, ya? Jadi kalau kamu nikah juga masih kepegang kerjaan rumah.”
“Eh?” Ela sedikit tidak sreg dengan jawaban sang ibu.
Kenapa pula perempuan itu lekat sekali kaitannya dengan pekerjaan rumah tangga. Padahal hari ini, zaman lebih terbuka. Banyak perempuan yang ingin berkarir, termasuk Ela. Pekerjaan rumah tak lagi sepenuhnya jadi tugas perempuan. Jasa Asisten Rumah Tangga banyak digunakan perempuan yang memilih bekerja, begitu pikir Ela.
Ia memilih melupakan ucapan ibunya. Bergegas membuat janji untuk bertemu Tyas. Hatinya sudah berdebar tak karuan, membayangkan memasuki area kampus dengan hilir mudik mahasiswa beralmamater. Dan kelak, sebentar lagi dirinya juga akan mengenakan almamater kebanggan.
Sesuai waktu yang disepakati keduanya, Ela dan Tyas berangkat menuju kampus. Angkutan yang sama yang menuju terminal saat ia pulang kampung. Setelahnya, ia akan naik angkutan lain dengan warna biru muda. Ia menghafal nomer angukatan yang dinaikinya. Tidak mungkin ia akan selalu berangkat bersama Tyas, jelas mereka beda angkatan.
Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di kampus. Sebuah Halte dengan tulisan ‘Halte Harapan Bangsa’ menjadi penanda bahwa sebentar lagi meraka sampai di area kampus.
Suasananya masih asri, masih banyak pepohonan tinggi nan hijau. Sepanjang jalan di depan kampus, banyak warung-warung makan yang hampir semuanya dipenuhi mahasiswa.
Saat masuk pertama kali di gerbang kampus, deru di hati Ela semakin terasa. Gedung tinggi yang di dominasi warna hijau muda dan hijau army, dengan kaca-kaca di setiap kelasnya, membuat perasaan antusias di hati Ela tak tertahan. Langkahnya sedikit lambat, matanya memperhatikan sekitar. Suasana kampus yang sangat ingin ia rasakan.