Kebahagian tengah menyelimuti hari-hari Ela. Setiap harinya dipenuhi semangat membara. Ia akan bekerja keras di hari kerja, agar akhir pekan bisa ia fokuskan pada kuliah. Minggu pertamanya, Ela terus berdebar. Kali ini, bukan lagi pemandangan pohon yang dilintasi semburat cahaya senja yang terlihat menawan, tapi pemandangan mahasiswa yang hilir mudik memeluk buku tebal, suasana kelas yang terkadang riuh karena diskusi dan juga kakak tingkat yang berjalan bergaya dengan almamater hijau. Ela sedang menikmati semua itu.
Ela bisa bertemu banyak teman baru dengan latar belakang suku dan pekerjaan yang berbeda. Sungguh, di kampus ini dia tidak merasa sendiri. Ia punya banyak teman seperjuangan yang punya mimpi yang nyaris sama. Yaitu, meraih pendidikan tinggi di tengah keterbatasan ekonomi keluarga. Demi membanggakan keluarga dan kelak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Di sini, semangatnya terus bertambah. Melihat perjuangan teman-teman lain yang lebih berat darinya. Misalnya, Iin. Ia seorang mahasiswi yang berasal dari Lampung. Bermodalkan tekad dan nekat, ia merantau ke kota ini. Bekerja di pabrik tisu, bersama beberapa teman lain yang punya mimpi yang sama, mereka mendaftar kuliah di tengah jadwal shift kerja.
Bayangkan, saat kelas Minggu pagi, mereka yang baru pulang kerja setelah shift malam harus langsung ke kampus dengan mata panda karena kurang tidur. Bahkan pernah Iin kedapatan tertidur di kelas. Namun, karena hampir semua yang ada di kelas ini punya kesamaan nasib, mereka akan membiarkan mahasiswa yang tertidur di kelas.
Melihat perjuangan mereka, Ela merasa pekerjaannya masih lebih baik. Ia masih punya waktu tidur yang cukup. Meski sepulang kerja masih harus tetap mengajari teman-teman Hana belajar.
Ela juga mulai akrab dengan tiga teman baru yang tempo hari bertemu di angkutan umum saat ospek mahasiswa baru. Ketiga temannya itu masuk prodi Bahasa Inggris juga. Beruntungnya, Ela jadi punya teman berangkat jika memungkinkan bersama.
Zumi, Jiya dan Dewi. Tiga mahasiswa yang juga bekerja. Zumi bekerja di sebuah agen travel. Ela dan Zumi cukup nyambung saat ngobrol. Maklum saja, pekerjaan Ela yang terkadang harus memesan tiket perjalanan dinas orang-orang kantor, membuat obrolan dengan Zumi akan sangan panjang.
Sementara Dewi, ia bekerja di sebuah pabrik kuas dekat rumahnya. Ia beruntung karena tak ada sistem shift di sana. Ia bisa kuliah dengan tenang seperti Ela. Meski terkadang terlambat karena tambahan pekerjaan saat hendak bersiap pulang.
Satu lagi Jiya. Dia seorang guru MI atau Madrasah Ibtidaiyah. Karena ada saudara yang bekerja di sana, Jiya dipercaya mengajar. Apalagi dia punya latar belakang sebagai santri saat duduk di bangku SMA.
Empat latar pekerjaan yang berbeda, empat sikap yang berbeda sungguh membuat warna baru dalam hidup Ela.
***
Minggu pagi yang selalu ditunggu Ela datang lagi. Pukul 06.30, Ela sudah menunggu di perempatan dekat warung ayahnya yang belum buka. Ia sedang menunggu tiga temannya yang sudah janjian akan berangkat bersama.
Perempatan ini memang seperti pertemuan kendaraan dari berbagai daerah di sekitar Cileungsi. Sepagi ini di hari libur pun, kondisi perempatan sudah ramai. Ela celingukan mengedarkan pandangan mencari teman-temannya.
“El …”
Dari seberang jalan terlihat Zumi dan Dewi memanggilnya sambil melambaikan tangan. Segera menyebrang saat lalu lintas sepi.
“Jiya belum dateng?” tanya Zumi, gadis imut yang tak terlalu tinggi.
“Sebentar lagi mungkin,” jawab Ela.
Baru saja dibicarakan, Jiya datang dari arah belakang mereka.
“Yuk, berangkat!”
Keempatnya menaiki angkutan umum yang masih ngetem, menunggu penumpang memenuhi mobil.