Makin hari. Ela makin merasakan sesuatu yang tadinya tak ia rasakan. Lelah. Ia mulai merasa lelah dengan rutinitasnya setahun belakangan ini. Kuliah, kerja, mengajari teman-teman Hana yang makin banyak. Belum lagi tugas kuliah, lembur di hari kerja.
Kini, pohon yang memayungi jalan yang diterobos sinar senja tak benar-benar tak nampak menawan lagi di matanya. Biasa saja. Ia berjalan dengan tenaga yang nyaris habis. Di kantor pun, saat istirahat ia akan mencicil tugas kuliah yang antri minta diselesaikan.
Pertemuan dengan teman-temannya berkurang banyak. Selagi ada waktu luang, Ela gunakan untuk mengerjakan tugas kuliah dan istirahat. Mulai terasa lelahnya.
Dan ada kabar yang entah baik atau tidak buat Ela di kantornya.
Kantornya menang tender pengadaan alat lab untuk perusahaan minyak dan gas milik pemerintah. Artinya, beberapa bulan ini pekerjaannya akan sangat sibuk. Para teknisi yang paling sibuk sekarang. Persiapan alat harus benar-benar matang dan teruji. Nyaris setiap hari mereka lembur sampai malam.
Bagian administrasi tak kalah sibuk menyiapkan dokumen dari setiap alat yanga akan dibeli dari luar negeri juga alat yang akan dijual.
Ela dan Febri ikut sibuk seminggu ini. Setiap hari mereka pulang terlambat. Bahkan akhir pekan, Febri diminta tetap masuk. Sebenarnya, Ela pun sama. Tapi ia tak bisa terus menerus meninggalkan kuliahnya. Sudah dua minggu berturut-turut ia izin.
“El, kantor lagi kekurangan orang. Bisa-bisanya kamu ga ikut lembur,” tegur Bu Okta.
“Saya … sudah dua kali absen kuliah, Bu.”
“Maksud kamu, kantor ga penting?”
Ela tertunduk tak menjawab.
“Dengar, saya mau kamu fokus sama kantor juga, kalau masih mau kerja di sini.”
Ela menelan ludah. Ini peringatan keras untuknya. Bu Okta tidak akan setegas ini jika ini perkara sepele. Ela tau pada akhirnya ia harus memilih.
Minggu ini ada Ujian Akhir Semester. Tidak mungkin ia absen. Dua minggu sebelumnya ia juga mendapat sindiran dari dosennya. Sebenarnya sindiran itu bukan hanya tertuju padanya, tapi juga pada beberapa temannya yang tak hadir bersamaan dengannya saat itu.
Jiya yang menceritakannya. Dia bilang Mr. Goen hanya memberi tiga kali kesempatan absen. Jika melebihi itu jangan salahkan dosen, jika nilainya buruk.
Ela benar-benar harus memilih.
Ia memilih berangkat kuliah.
Tapi ternyata pilihannya itu tak memberinya kenyamanan. Selama ujian, hatinya seperti tak tenang. Wajah marah Bu Okta tergambar dalam benaknya. Juga gambar wajah teman-teman sekantornya yang pasti sedang sibuk. Tak enak hati rasanya. Namun, ia tetap berusaha menyelesaikan ujiannya hari ini. Meski dengan hati yang terbagi.
***
Hari senin yang sangat disegani Ela pun tiba. Ia berangkat dengan hati yang berat dan penuh cemas. Sepanjang perjalanan ia banyak menghela nafas berat. Dan kekhawatirannya itu terbukti.
Pagi-pagi sekali Bu Okta datang. Wajahnya tak memberi segaris senyum pun saat Ela menyapanya.