Semester empat.
Bukan pekerjaan lagi yang menambah daftar pikiranya. Justru karena tak punya pekerjaan yang kini menjadi beban utama pemikirannya. Saldo di tabungannya menipis, hanya cukup untuk pembayaran bulan ini saja. Ongkos berangkat ia minta dari ayahnya. Keadaan ini sungguh membuatnya malu.
Sudah beberapa lamaran ia kirimkan. Satu lamaran berhasil membawanya sampai interview pertama di pabrik kertas. Namun setelahnya tak ada panggilan lagi. Pabrik itu jelas ingin karyawan yang bersedia kapan saja diminta lembur di hari libur. Saat ia bilang sedang kuliah, HRD mengatakan mereka butuh karyawan yang bisa masuk di hari Sabtu dan Minggu. Setelahnya tak ada lagi panggilan dari pabrik atau perusahaan yang menghubunginya.
Hidup harus terus berjalan. Sambil menunggu mendapatkan pekerjaan baru, Ela memilih menjalani hari-hari kuliahnya dengan tekun sambil membantu pekerjaan rumah ibu dan neneknya. Kembali seperti saat ia pertama kali sampai di Cileungsi, menunggu panggilan kerja.
Hari ini, Ela harus kembali kuliah. Dosen di kelasnya memberi sebuah wejangan bagi para calon guru di hadapannya.
“Kalau kalian berharap bisa kaya harta dengan profesi guru, saya rasa itu agak sulit. Kalian bisa lihat sendiri realita kehidupan guru di negara kita. Masih banyak tenaga honorer yang gajinya minimalis. Kalau hitungan manusia gaji segitu, ya, ga cukup. Tapi, mungkin ada keberkahan lain dari menjalani profesi ini dengan tulus. Jadi, saya berpersan pada kalian, jadi guru yang tulus mengajari murid-murid kalian. Harus banyak sabar. Besok lusa, kita ga tau seperti apa gambaran pendidikan kita. Zaman dulu, saya, dilempar penghapus papan tulis sama guru, ya, diem. Ngerasa bersalah. Tahun-tahun ke depan, apa hal seperti ini masih akan sama? Bisa jadi nanti orang tua protes ga terima anaknya di lempar penghapus papan tulis. Bisa jadi, anak murid kita bisa dengan lantang menentang kita.”
Semua mahasiswa takzim mendengarkan. Yang dibilang dosennya benar. Semakin berkembang zaman, tantangan menjadi guru akan semakin besar.
“Tantangan guru ke depannya benar-benar makin besar. Administrasi sekolah, moral anak-anak, akan jadi tantangan kita. Makanya, saya pesan, sabar … jangan banyak mengeluh saat jadi guru nanti. Upgrade terus kemampuan mengajar kalian. Soal gaji, serahkan pada Tuhan dan kebijakan pemerintah.”
Kata-kata dosennya terekam dalam ingatan setiap mahasiswa yang menyimaknya dengan hati. Bahwa menjadi guru bukan hanya perihal pekerjaan dan nominal gaji. Ela merasa ada nilai lebih setiap mendengar nasihat-nasihat dari para dosen. Nilai yang tak bisa diukur oleh standar angka.
Ya, setiap profesi punya nilai jika dikerjakan dengan hati.
Setelah kelas usai ia dan teman-temannya mampir untuk makan siang. Ia memilih menu sederhana. Pecel lele, nasi uduk dan air minum yang ia bawa dari rumah.
“Jadi kamu belum dapat kerjaan baru, El?” tanya Zumi.
Ela hanya menggeleng, sambil mengunyah nasi yang memenuhi mulutnya.
“Coba tanya Iin, siapa tau ada lowongan di pabriknya,” usul Dewi.
“Udah. Katanya, lagi ga da lowongan,” jawab Ela.
“Sebenernya aku suka dapet info lowongan jadi guru. Tapi, emang kamu mau?” kata Jiya yang baru saja menyeruput es teh manis.
Semua mata tertuju pada Jiya sekarang.
“Seperti yang dosen kita bilang tadi. Gaji guru honorer itu jarang yang tinggi. Bisa jadi setengah gaji kamu di kantor, atau bisa lebih kecil.”
Ela mempertimbangkan. Untuk saat ini ia butuh pekerjaan yang gajinya bisa menutupi kebutuhan kuliah dan sehari-hari. Syukur-syukur bisa membantu biaya sekolah adik-adiknya. Ia bukan Jiya yang gajinya hanya untuk dirinya sendiri. Biaya kuliah tetap di tanggung orang tua Jiya.
Tapi, ia harus menunggu sampai kapan? Biaya kuliah dan keperluan sehari-hari terus berjalan. Ia butuh pemasukan.