Siapa yang mengira bahwa proses meikmati pendidikan bisa mengubah pandangan seseorang tentang hidup. Yang awalnya hanya sekedar ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lewat pendidikan, kini berubah arah.
Ada pemikiran baru dalam benaknya soal pendidikan yang tengah ia tempuh. Terutama setelah ia masuk langsung ke dalam dunia pendidikan. Bertemu anak-anak, mengajari mereka bukan hanya soal materi berhitung dan menulis. Tapi juga moral yang disampaikan dan yang diperlihatkan lewat sikap. Apalagi anak-anak di usia ini, mereka benar-benar butuh suri teladan. Apa yang mereka lihat diserap dengan baik, kemudian memprotes saat ada yang tak sesuai dengan apa yang diajarkan.
“Gimana Bu Ela, setelah sebulan mengajar di sini?” tanya Bu Erna setelah semua murid pulang dan para guru berkumpul di ruang guru.
Ela tersenyum lebar.
“Butuh pengelolaan emosi yang baik, ya, Bu,” jawabnya bergurau.
Bu Ratih mengangguk setuju.
“Memang, Bu. Saat mau marah kita harus belajar mengontrol emosi, jangan sampai meledak-ledak. Ibu tau, guru sebelum Bu Ela pernah nangis karena kelakuan anak-anak.”
Ela terkesiap. Mengingat ia juga pernah menangis saat bekerja dengan Bu Okta dulu. Ia kira hanya orang dewasa yang bisa membuat orang dewasa lain menangis.
“Ya, anak-anak memang beragam sikapnya, kan. Waktu itu Bunga sama Raihan berantem. Ibu sudah lihat, kan, kalau Raihan marah seperti apa? Waktu itu Bu Maulida mau misahin Raihan sama Bunga, eh, malah dia yang kena pukul Raihan pake gagang sapu. Kena kepalanya,” papar Bu Ratih.
“Sama Nasywan juga pernah, Bu. Dia ditarik-tarik sama Nasywan sampai jilbabnya copot,” tambah Bu Erna sedikit tersenyum mengingat kejadian itu.
Ela menelan ludah. Sebulan ini belum ada kejadian seperti itu menimpa dirinya. Mungkin karena anak-anak masih canggung padanya. Besok lusa, siapa yang tahu Ela juga akan mengalami hal serupa.
“Mungkin karena belum nikah, ya, jadi ga kuat sama kelakuan anak-anak yang begitu,” tambah Bu Erna.
“Eh, Bu Ela juga belum nikah, loh,” sahut Bu Ratih.
Ela tersenyum kikuk.
“Tapi semoga, Bu Ela lebih strong, ya. Kalau dasarnya suka anak-anak, insyaa alloh bisa deh …” kata Bu Erna.
Ela hanya menanggapinya dengan senyum.
Sebenarnya, Ela sedikit tak asing dengan kegaduhan yang anak-anak lakukan di sini. Di rumahnya, meski tak sebanyak anak-anak di sekolah, keributan macam ini pernah terjadi.
***
Tuhan memang adil. Ada satu masa Ela tak punya banyak waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas, tapi ia tenang soal biaya kuliah. Ada juga masa di mana ia punya banyak waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas, bahkan tak pernah telat datang lagi, tapi ia punya rasa cemas soal biaya kuliah.
Orang tuanya sudah membantu semampunya. Tapi hati Ela merasa tak nyaman dengan itu. Ia seperti menjadi beban untuk orang tuanya. Masih ada Hana dan Saif yang juga perlu biaya sekolah.
“Kamu buka les aja di rumah,” usul Jiya saat mereka selesai kelas.
Ela langsung teringat teman-teman Hana yang sampai saat ini masih belajar bersamanya di rumah. Rasanya tak tega jika harus menarik iuran dari mereka. Selama ini Ela tidak pernah meminta bayaran berupa apapun untuk mengajari teman-teman Hana.
Tapi itu ide yang bagus. Dia bisa buka les calistung – baca, tulis, hitung – khusus anak-anak TK. Ela memikirkan ide itu cukup serius.
Namun, lagi-lagi Tuhan yang mengaturkan jalan untuk rencananya. Saat Ela tengah memikirkan opsi lain agar bisa menambah penghasilannya, sebuah tawaran datang padanya.
Ibu Bunga, salah satu wali muridnya, minta ia mengajari Bunga di rumahnya. Dengan kata lain les privat. Itu tawaran yang ditunggu-tunggu Ela. Ia sedikit tidak menyangka jika Bunga ingin belajar bersamanya. Karena di sekolah ia termasuk murid yang sering kena teguran halus dari Ela.
Ela mengambil tawaran itu dengan hati yang dipenuhi rasa syukur. Tuhan memberinya jalan saat ia masih memikirkannya.