Hari ini Ela mendapat kabar mengharukan dari sahabatnya di desa kecil. Nur, akan segera menikah. Tentu saja itu kabar bahagia. Dari suara Nur yang menelponnya untuk memberi kabar gembira ini terdengar jelas ia bahagia dan merasa lega. Bagaimana tidak, usia Nur yang sebaya dengan Ela pasti sudah sering ditanya kapan menikah.
Namun, di balik kebahagiaan mendengar kabar itu terselip sebuah rasa sendu karena ia tak mungkin datang. Rasa sakit yang dulu pernah tercipta di desa itu kembali mengeluarkan aroma perihnya. Kilas kepedihan yang hampir terlupakan karena kesibukannya bekerja dan kuliah, kini hadir di benaknya. Berputar lagi.
Ia enggan bertemu mereka yang pernah menyakiti orang tuanya.
Dan dari obrolan panjangnya bersama Nur di telepon malam itu, ada satu pertanyaan Nur yang mengingatkan pada perasaannya di masa lalu. Bukan soal keluarga ayahnya yang memuakkan, tapi tentang seseorang yang ia cintai dalam hati.
“Kamu lagi suka sama siapa sekarang?”
Suka?
Ia jadi kembali ke masa lalu. Menengok sedikit ke dalam hatinya. Setelah menyukai Aa Jepang, ia belum menyukai pria lain.
Usianya sudah menuju dua puluh tiga tahun. Ia membayangkan jika masih tinggal di desa itu, pasti keluarga ayahnya akan sibuk bertanya soal pernikahan. Pada masa itu, di sana, gadis dengan usia yang melewati angka dua puluh tahun belum menikah sudah dicemaskan. Dikaitkan dengan mitos perawan tua atau nampik jodoh. Padahal usia itu terbilang masih muda.
Ia jadi mengingat wajah Aa Jepang malam itu. Wajah dengan mata sipit dan rambut sedikit gondrong. Manis jika sedang tersenyum dan menyapa dengan ramah.
“Aih, kenapa jadi keingetan, sih,” gerutunya setelah beristigfar.
Bagaimana pun juga, Aa Jepang sudah jadi suami orang sekarang. Dosa untuknya jika masih memikirkan pria yang sudah sah menjadi milik perempuan lain.
***
Hari ini waktunya Ela membayar biaya kuliah. Uangnya tidak cukup untuk membayar biaya kuliah bulan ini. Malu-malu ia bilang pada ayahnya. Meski malu, ia tak tahu lagi harus mencari tambahan biaya ke mana.
Ayahnya menghela nafas. Ela tahu itu artinya berat. Beberapa hari yang lalu, Ayahnya baru saja membayar SPP Saif dan uang seragam Hana yang baru bisa dilunasi.
“Bapak belum bisa nambahin, El. Bener-bener ga ada,” ucapnya pasrah.
Ela mengerti. Ia tak bisa memaksakan keadaan orang tuanya. Ia kembali ke kamarnya dengan perasaan berat. Ia sudah pernah menunggak biaya kuliah, dan itu terasa berat. Inginnya ia tak menunggak lagi, tapi apa daya. Saat ini ia tak punya nominal yang bisa ditarik di mesin ATM.
“Kenapa, Neng?” tanya Enek yang melihat wajah murung Ela saat hendak masuk kamar. “Belum bayaran?” tanya Enek yang sebeneranya menguping pembicaraan cucu dan menantunya.
Ela menjawab dengan senyum sendu. Maunya ia tersenyum manis, tapi sendu itu cukup mendominasi hati. Membuat perpaduan aneh di wajahnya. Senyum dan sendu.
“Jangan sedih, Enek punya simpenan di bawah kasur,” kata Enek yang ternyata sudah mengambil uang dari bawah kasur kapuknya.
Pecahan uang beraneka warna. Pecahan seratus ribu, lima puluh sampai lima ribu rupiah, ada.
Mendadak sendu yang bertahan di hati mendorong tetes bulir air mata untuk jatuh. Haru dan sendu kini beradu. Ia harus merepotkan neneknya sekarang.
“Jangan nangis. Enek teh seneng liat kamu pake jaket ijo dari kampus. Kalau di pengajian Bu Haji suka mamerin cucunya yang kuliah, Enek jadi bisa cerita, kan, cucu Enek juga punya jaket kaya gitu. Beda warna aja.”
Ada segaris senyum di bibir Ela. Maksud neneknya, almamater kampus.
Neneknya menyodorkan uang itu. Perlahan Ela terima.
“Nanti kalau aku udah ada uang, aku ganti, Nek.”
“Ga usah dipikirin. Kamu belajar aja yang bener biar bisa kaya Si Doel, jadi sarjana.”
Bulan ini biaya kuliahnya terselamatkan. Entah bulan-bulan ke depannya. Penghasilannya masih sama. Tapi pengeluarnanya kian membengkak. Ke depannya akan ada beberapa pelatihan yang memerlukan biaya tambahan. Ia harus kembali putar otak untuk mendapatkan penghasilan tambahan lain.
Sore itu selepas keluar dari antrian mahasiswa di depan kantor administrasi, wajah Ela lega sekaligus lesu. Ketiga temannya menyadari ekspresi lesu Ela.
“Menguras dompet, ya,” kata Zumi bergurau.