Ela terus menimbang sebuah keputusan yang harus ia pilih. Antara berangkat ke desa kecil untuk menghadiri pernikahan Nur atau tidak. Ia punya ide untuk pergi dan pulang di hari yang sama tanpa mampir ke rumah lamanya. Sebisa mungkin tak perlu bertemu mereka. Meski kemungkinan itu sangat kecil. Ia enggan sekali bertemu mereka. Luka lama itu terasa baru lagi saat ini. Tapi, Nur adalah sahabatnya. Dia yang lebih sering menemani suka duka perjalanan hidup Ela di sana, setelah keluarga kecilnya. Dan ini adalah momen berharga yang ditunggunya.
Membayangkan wajah malu-malu sekaligus bahagia dari sahabatnya. Juga godaan kecil untuk si pengantin baru. Semua itu sudah ia bayangkan sejak lama. Sayang sekali jika ia tak bisa menyaksikannya.
Setelah bicara dengan orang tuanya, ia memantapkan hati untuk berangkat pagi-pagi.
Putaran cerita kembali muncul dalam benaknya. Berusaha hanya yang manis saja yang ia ingat. Saat-saat menyenangkan yang ia lewatkan bersama teman-temannya di sana, perjuangannya mengenyam pendidikan di SMK pinggil rel kereta api. Menyenangkan.
Ingatan itu berhasil menciptakan segaris senyum di bibir Ela.
Empat jam perjalanan, ia mulai merasa tak asing dengan pemandangan di luar jendela bis. Sawah-sawah hijau dengan petani yang sedang beristirahat di saung sambil mengipasi diri dengan caping, dan juga jalanan berkelok yang membuat kepala pusing. Ia tahu sebentar lagi ia sampai.
Hingga satu jam kemudian, ia benar-benar semakin dekat dengan desa kecil yang sudah tiga tahun lebih ia tinggalkan. Jantungnya berdebar karena senang akan bertemu sahabat yang sudah bertahun-tahun tak ia temui, juga karena berharap tak bertemu mereka. Membayangkannya saja ia sudah merasakan amarah yang dulu pernah ada di hati karena sang ibu dicaci tanpa ada perlindungan dari yang lain.
Di pangkalan ojek dekat sebuah Sekolah Menengah Kejuruan yang baru berdiri lima tahun belakangan – yang kini lebih populer dari sekolahnya dulu – ia turun dari bis. Seorang tukang ojek langsung menghampiri Ela. Segera menanyakan alamat yang ditujunya.
Ela tak heran. Ojek pangkalan di sini memang punya peraturan untuk bagi-bagi penumpang. Tak bisa memilih ingin ojek yang mana.
Setelah Ela menyebutkan nama desa kecil itu, Ela segera naik motor Mega Pro keluran 2001. Menyusuri jalan yang kini lebih mulus di banding dulu. Dulu, jalanan ini kurang mulus. Jalannya berkerikil, bahkan di beberapa titik jalannya dipenuhi bebatuan. Membuat yang dibonceng siaga namun hanya mampu memasrahkan pada keahlian pengendara motor.
Pohon beringin tua yang ada di pemakaman terlihat tak berubah banyak. Tetap berdiri kokoh di sana.
Ela semakin berdebar karena tinggal beberapa menit ia akan sampai. Hingga di pertigaan, ia minta si abang ojek untuk lurus. Langsung ke rumah Nur yang melewati lapangan kebanggaan desa kecil ini.
Lapangannya juga berubah sekarang. Sedikit lebih rapi dengan tanggul penyangga di beberapa titik lapangan. Ia kembali tersenyum mengingat banyak cerita tercipta di sana.
“Berhenti di sini aja, Mang,” kata Ela menghentikan laju motor si abang ojek.
Rumah Nur masih dua ratus meter lagi, tapi ia memilih berhenti di sini. Ia perlu menyiapkan beberapa hal. Penampilannya yang sedikit berantakan, juga menyiapkan hati untuk semua kemungkinan yang ada.
Ia merapikan jilbab kemudian celingukan. Memastikan tak ada orang yang lewat, lalu mengeluarkan bedak dan lipstik dari tas kecilnya. Menambahkan polesan lipstik yang sedikit memudar. Bagaimana pun ia harus terlihat rapi. Masih ada perasaan tak ingin di pandang rendah oleh orang lain. Masih ada rasa ingin menunjukan bahwa hidupnya lebih baik sekarang.
Setelah di rasa sudah rapi, ia melangkah menuju arah rumah Nur. Tenda sederhana berwarna hijau terlihat dari jarak Ela berada. Suara dendangan qosidah modern Almanar terdengar tak asing di telinga Ela. Hampir setiap pernikahan di sini akan memutar lagu-lagu dari qosidah yang paling terkenal di daerah ini.
Sampai di depan meja penerima tamu, Mila – adiknya Nur – terbelalak mengenal orang yang ada di hadapannya. Gadis berusia dua belas tahun itu berseru tak percaya memanggil nama Ela. Membuat beberapa orang menengok ke arah meja penerima tamu.
“Kata Teh Nur, Teh Ela ga akan datang,” katanya masih terlihat tak percaya. Mila tahu persis bagaimana kedekatan Kakaknya dan Ela.
Ela hanya tersenyum. Sedikit bicara dengan Mila lalu masuk ke dalam rumah. Dekorasi masa-masa ini memang masih menggunakan ruang tamu sebagai ruang pelaminan. Menyapa dengan salam yang hangat. Membuat sang pengantin wanita terbelalak tak percaya. Saking senangnya ia setengah berlari dengan mengangkat rok kebayanya.
“Yaa Allah, katanya ga bisa dateng,” ucap Nur lirih, sambil memeluk sahabatnya. Ia nyaris menangis.
“Demi kamu, lah,” jawab Ela berusaha bergurau.