SARJANA RUMAH TANGGA

Lail Arrubiya
Chapter #24

Berusaha Mencari Pekerjaan Lain

Tuhan punya cara sendiri untuk menguji umat-Nya. Kesulitan hidup tak selalu soal finansial. Kesulitan hati untuk benar-benar memaafkan juga jadi ujian manusia. Tanpa disadari, dendam menggerogoti hati hingga lupa hikmah indah yang tercipta dari rasa sakit itu.

Setiap kali hatinya merasa tersakiti, Ela memilih untuk lebih giat bekerja agar kuliahnya bisa berjalan lancar sampai lulus.

Di dinding kamarnya tak ada target hidup lima tahun ke depan, tapi di dadanya terpatri sebuah tekad untuk menyelesaikan kuliah dan mendapat pekerjaan yang bergengsi. Demi mengangkan martabat keluarga.

Tapi, ujian itu sering datang bertubi, seakan tak memberi jeda untuk bernafas.

Ela tengah digempur biaya kuliah berkali-kali. Biaya bulanan, pelatihan mengajar dan pelatihan pembelajaran Bahasa Inggris berbasis teknologi, juga biaya transportasi dan uang saku.

Berulang ia memutar otak, mencari pekerjaan paruh waktu selepas mengajar les, namun belum dapat jalan keluar. Ia mulai frustasi karena di dada bergemuruh tekad yang bermula dari rasa sakit. Semakin merasa impian itu tak akan tercapai makin takut ia jatuh. Baginya itu akan sangat memalukan. Kabar ia berhenti kuliah lambat laun pasti akan diketahui orang-orang di desa kecil. Itu yang terngiang di benaknya.

Kali ini ia mendapati kenyataan lain, bahwa ibunya terpaksa menjual satu-satunya simpanan milik beliau. Tiga gram cincin nikahnya harus dijual demi memenuhi tunggakan kuliah Ela. Setelah tabungan neneknya, cincin nikah ibunya, dan besok entah apa lagi yang akan dikorbankan demi keberlanjutan kuliah Ela. Sementara Saif, yang harusnya menikmati bangku kuliah juga memilih untuk langsung bekerja.

Setiap malam, sering sekali Ela menangisi pengorbanan keluarganya. Sementara masih ada adik yang juga harus terpenuhi kebutuhan pendidikannya. Ia menimbang apa benar pillihannya melanjutkan kuliah di tengah kondisi finansial yang kekurangan. Atau ia harus mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar.

Ah, wajah anak-anak di TK itu muncul di benak Ela malam ini. Wajah dengan beragam tingkah dan kerandoman yang terkadang membuatnya batal marah. Justru berganti terkekeh. Dan tidak dipungkiri, dunia pendidikan telah merebut hatinya. Ia punya ketertarikan soal pendidikan, bahkan mungkin sedari dulu saat ia mulai bermain guru-guruan dengan anak-anak di sekitar rumahnya.

Ternyata ingin menikmati bangku kuliah untuk seorang anak penjual es kelapa itu terjal jalannya.

***

“Kerja apa aja, deh, Teh. Yang penting aku bisa bayar kuliah,” ucapnya pada Bu Erna seusai selesai kelas. Hari ini les Bunga libur.

“Kamu ga mau coba ngajar di SMP-nya Bu Hesti?” tanya Bu Erna.

Semenjak beberapa bulan belakang keduanya sepakat untuk bicara lebih santai jika kelas sudah selesai.

“Memangnya boleh, guru belum lulus ngajar di sana?”

“Sekarang, tuh, banyak yang ngajar sebelum lulus. Yang penting, kan, kompeten.”

Ela sedikit menimbang.

“Ada lowongan ga, ya?”

“Tanyain aja. Bu Hesti mah santai ini orangnya.”

 Ela mengangguk. Sepertinya ia harus mencoba. Jika tak dapat pekerjaan sebagai staf pengajar, jadi apapun dia bersedia. Yang terpenting ia dapat pekerjaan tambahan.

“Eh, acara karyawisata nanti, suami Bu Hesti ikut, loh. Sama keluarganya juga,” kata Bu Erna mencomot topik lain.

Ya, Bu Hesti belum genap setahun menikah. Masih hangat-hangatnya jadi pengantin.

“Wah, keluarga mertuannya mau satu bis sama kita?” tanya Ela yang tiba-tiba antusias ingin tahu.

Lihat selengkapnya